REPUBLIKA.CO.ID, Abbas bin Abdul Muthalib—paman Rasulullah—meninggalkan
kaumnya yang tengah berdebat itu. Ia dan keluarganya berangkat menemui
Rasulullah di Juhfa. Kemungkinan ada orang-orang dari Bani Hasyim yang
telah menerima berita atau kabar tentang kebenaran Rasulullah. Hingga
mereka bermaksud menggabungkan diri tanpa akan mendapat gangguan.
Disamping
Abbas, yang juga berangkat menyongsong ialah Abu Sufyan bin Al-Harits
bin Abdul Muthalib, sepupu Nabi, dan Abdullah bin Abi Umayyah bin
Al-Mughirah, anak bibinya. Mereka menggabungkan diri dengan pasukan
Muslimin di Niq Al-Uqab. Mereka berdua minta izin untuk menemui Nabi,
tapi Rasulullah menolak.
"Aku tidak ada keperluan dengan
mereka," kata Rasulullah kepada Ummu Salamah, istrinya, ketika ia
mencoba membicarakan masalah dua orang itu. "Aku sudah banyak menderita
karena anak pamanku itu. Sedang anak bibiku, dan iparku pula, ia sudah
mengatakan yang bukan-bukan ketika ia di Makkah."
Keterangan ini
disampaikan kepada Abu Sufyan. "Demi Allah," ujarnya, "Bagiku hanyalah
aku ingin diizinkan bertemu. Atau dengan bantuan anakku ini, kami akan
pergi ke mana saja, sampai kami mati kehausan dan kelaparan."
Rasulullah merasa kasihan kepada mereka. Kemudian mereka pun diizinkan masuk menemui beliau, dan mereka menyatakan masuk Islam.
Menyaksikan
pasukan Muslimin serta kekuatannya yang demikian rupa, Abbas bin Abdul
Muthalib merasa cemas dan sangat terkejut. Sekalipun ia sudah masuk
Islam, namun hatinya selalu khawatir akan bencana yang akan menimpa
Makkah jika kekuatan pasukan yang belum pernah ada bandingannya di
seluruh Jazirah Arab itu, kelak menyerbu ke dalam kota.
Dengan
duduk di atas seekor bagal putih kepunyaan Nabi, Abbas berangkat ke
daerah Arak, dengan harapan dapat berjumpa dengan orang mencari kayu,
atau tukang susu atau dengan siapa saja yang sedang pergi ke Makkah. Ia
akan menitipkan pesan kepada penduduk kota itu tentang kekuatan pasukan
Muslimin yang sebenarnya supaya mereka kelak menemui Rasulullah dan
minta damai sebelum pasukan ini memasuki kota dengan kekerasan.
Sejak
pihak Muslimin berlabuh di Mar Az-Zahran, pihak Quraisy sudah mulai
merasakan adanya bahaya yang sedang mendekati mereka. Maka mereka
mengutus Abu Sufyan bin Harb, Budail bin Warqa' dan Hakim bin
Hizam—kerabat Khadijah—untuk mencari-cari berita serta mencari tahu
seberapa jauh bahaya yang mungkin datang mengancam.
Sementara
Abbas sedang mengendarai bagal Nabi yang putih itu, tiba-tiba ia
mendengar ada percakapan antara Abu Sufyan bin Harb dengan Budail bin
Warqa'. "Aku belum pernah melihat api unggun dan pasukan tentara seperti
yang kita lihat malam ini," kata Abu Sufyan.
"Tentu itu api unggun Khuza'ah yang sudah dirangsang perang," timpal Budail.
Abbas yang sudah mengenal suara Abu Sufyan itu, lalu memanggil dengan nama julukannya, "Abu Hanzalah!"
"Abul Fadhl!" sahut Abu Sufyan.
"Abu
Sufyan, kasihan engkau!" kata Abbas. "Rasulullah berada di
tengah-tengah rombongan itu. Apa jadinya Quraisy kalau mereka memasuki
Makkah dengan kekerasan."
"Apa yang harus kita perbuat!" kata Abu Sufyan. "Kupertaruhkan ibu-bapaku untukmu."
Abbas
menaikkan Abu Sufyan di belakang bagal dan diajaknya berangkat
bersama-sama, sedang kedua temannya disuruhnya kembali ke Makkah. Ketika
kaum Muslimin melihat bagal itu, mereka membiarkannya lewat. Abbas
berjalan di tengah-tengah 10.000 orang yang sedang memasang api unggun,
yang sengaja dipasang untuk menimbulkan kegentaran dalam hati penduduk
Makkah.
Akan tetapi ketika bagal itu lewat di depan api unggun
Umar bin Khathab, Umar melihat dan mengenali Abu Sufyan. Ia juga bahwa
Abbas hendak melindunginya. Umar segera menemui Rasulullah dan meminta
izin kepada Nabi untuk membunuh Abu Sufyan.
"Rasulullah," kata Abbas. "Saya sudah melindunginya."
Menghadapi situasi semacam itu dan waktu sudah malam pula, terjadi perdebatan yang kadang sengit antara Umar dan Abbas.
Rasulullah kemudian berkata, "Bawalah dia dulu ke tempatmu, Abbas. Pagi-pagi besok bawa kemari!"
Keesokan
harinya, ketika Abu Sufyan dibawa kembali menghadap Nabi dan disaksikan
oleh pembesar-pembesar dari kalangan Muhajirin dan Anshar terjadi
dialog antara Rasulullah dan Abu Sufyan.
"Kasihan kau Abu
Sufyan. Bukankah sudah tiba waktunya sekarang engkau harus mengetahui,
bahwa tak ada Tuhan selain Allah?" kata Rasulullah.
Abu Sufyan
menjawab, "Demi ibu-bapakku, sungguh bijaksana engkau. Sungguh pemurah
engkau dan suka memelihara hubungan keluarga. Aku memang sudah menduga,
bahwa tak ada Tuhan selain Allah, itu sudah mencukupi segalanya."
"Kasihan engkau Abu Sufyan, bukankah sudah tiba waktunya engkau harus mengetahui bahwa aku Rasulullah?"
"Demi
ibu-bapakku, sungguh bijaksana engkau. Sungguh pemurah engkau dan suka
memelihara hubungan keluarga. Tetapi mengenai hal ini, sungguh sampai
sekarang masih ada sesuatu dalam hatiku."
Abbas campur tangan.
Ia bicara dengan ditujukan kepada Abu Sufyan, supaya ia mau menerima
Islam dan bersaksi bahwa tak ada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad
pesuruh-Nya. Menghadapi hal ini tak ada pilihan bagi Abu Sufyan.
"Rasulullah," kata Abbas. "Abu Sufyan adalah orang yang gila hormat. Berikanlah sesuatu kepadanya."
"Ya,"
kata Rasulullah, "Barangsiapa datang ke rumah Abu Sufyan, orang itu
selamat. Barangsiapa menutup pintu rumahnya orang itu selamat dan
barangsiapa masuk ke dalam masjid orang itu juga selamat."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar