Jumat, 21 September 2012

Umu Aiman

Kepada para sahabat, Rasulullah pernah bersabda, “Ini adalah ibuku sesudah ibuku.” Dan beliau memang selalu memanggilnya: Wahai ibu, meski bukan ibu kandungnya sendiri.

Siapa dia? Tiada lain Umu Aiman Al-Habasyiah. Seorang wanita dari Habasyah yang masuk Islam setelah Khadijah isteri Rasulullah. Ia adalah orang kedua yang memeluk Islam, dan meninggal sebagai syuhada dalam perang Hunain.
Ibnul Qayyim Al-Jauzi dalam kitab karyanya Zadut Ma’ad banyak mengisahkan Umu Aiman sebagai wanita yang mulia dan agung. Ia adalah ibu dari Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah dan panglima pasukan Islam ketika perang melawan Romawi.
Masa kecil hingga dewasa dijalani di rumah Abdul-Muthalib bersama Abdullah dan Aminah sebagai tuannya. Karena itu, Umu Aiman adalah wanita yang paling komplit menghayati kehidupan Muhammad, sejak masih bayi hingga menjadi Rasul.
la mengetahui, betapa sedih hati Abdul-Muthalib ketika ditinggal mati Abdullah anak kesayangannya sepulang dari berniaga ke Syam. Ia menyaksikan betapa gembira Abdul Muthalib menerima cucu lelakinya dari Aminah yang diberi nama Muhammad sehingga Abdul-Muthalib memberikan hadiah kepada seluruh keluarga dan orang-orang yang dekat dengannya.
Umu Aiman teringat masa tinggalnya di Madinah yang singkat, saat Muhammad baru berusia enam tahun. Waktu itu Aminah membawa puteranya berziarah ke kubur ayahandanya. Dan untuk beberapa waktu Aminah tinggal di rumah paman-pamannya.
Ia menyaksikan sendiri masa kecil Rasulullah, yang suka bermain-main dengan putera-putera pamannya. Pernah suatu hari Umu Aiman menyaksikan, ada seorang Yahudi memandang Muhammad kemudian berkata, “la adalah nabi umat ini, dan inilah tempat hijrahnya.”
Paman-pamannya mengetahui apa yang dikatakan Yahudi itu, dan memberitahukannya kepada ibu Muhammad. Mereka minta agar Aminah melindungi anaknya dari pengkhianatan orang-orang Yahudi. Karena merasa khawatir, maka Aminah kemudian segera kembali ke Makkah dan meninggalkan Madinah untuk menyelamatkan jiwa Muhammad, si calon nabi.
Umu Aiman masih ingat persis bagaimana Aminah sakit dalam perjalanan dari Madinah ke Mekkah yang akhirnya meninggal di tengah perjalanan di desa Abwa’. Kemudian Muhammad yang masih kecil, mengelilingi jasad ibunya, dan bertanya kepada Umu Aiman. Berbicara dengan Muhammad yang kecil, Umu Aiman hanya bisa berkata, “Itu adalah kematian, wahai anakku.” Kemudian ia membungkus jasad yang tertidur itu dan memejamkan kedua matanya. Setelah jasad Aminah dikubur, ia membawa si anak yatim piatu itu kembali ke Mekkah dan menyerahkannya kepada Abdul-Muthalib kakeknya. Ia mengasuh Muhammad sampai remaja, bahkan menemaninya dalam dakwah dan jihad di medan perang.
Dibebaskan Rasulullah
Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau membebaskan Umu Aiman dan mengawinkannya dengan Ubaid bin Zaid. Dari perkawinan ini lahirlah Aiman, sehingga kemudian lebih akrab dipanggil Umu Aiman.
Ketika Muhammad menyatakan kerasulannya, Umu Aiman adalah wanita kedua setelah Khadijah yang menyatakan keislamannya. Betapa tidak, ia telah lama mengenal kelurusan budi Muhammad sejak dalam asuhannya. Ia mengetahui sendiri ramalan orang Yahudi sewaktu Muhammad dibawa ke Madinah. Ia mendengar sendiri berita dari Halimah Sa’diyah yang menyusui Rasulullah tentang perkataan pendeta Bukhaira kepada Abu Thalib perihal tanda-tanda kenabiannya sewaktu dibawa berdagang ke Syam.
Mengetahui ketulusan hati Umu Aiman, Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa ingin mengawini seorang wanita calon penghuni sorga, maka hendaklah ia mengawini Umu Aiman.” Setelah suami pertamanya telah meninggal, Umu Aiman dinikahi oleh Zaid bin Haritsah, yang kemudian melahirkan Usamah. Dialah seorang pahlawan muda Islam yang shalih dan gugur sebagai syuhada ketika melawan pasukan Romawi.
Sejauh mana ketabahan dan kesetiaan Umu Aiman terhadap perjuangan Islam, bisa dilihat ketika ia mengikuti Rasulullah hijrah ke Madinah. Ia tidak memiliki sanak keluarga yang melindungi dirinya dari gangguan orang musyrik. Karena tiada memiliki kendaraan, ia terpaksa berjalan kaki dari Makkah ke Madinah kemudian bergabung dengan Rasulullah.
Teriknya sengatan matahari yang membakar kulitnya selama dalam perjalanan sama sekali tidak dihiraukan. Dengan langkah pasti ia melewati padang pasir yang gersang tanpa bekal makanan dan air seteguk pun. Ketika tiba di Ruwaikha’ (suatu tempat antara Badar dan Madinah), ia kehabisan tenaga. Lapar dan haus telah melemahkan tubuhnya, namun tidak mematikan semangat hijrahnya. la pun lalu merebahkan tubuhnya agar keesokan harinya bisa melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Sambil berbaring, matanya yang cekung menatap ke atas. Tiba-tiba dilihatnya sebuah tali putih bersih turun dari langit yang menggantung timba penuh air. Diminumnya air itu, dan hilanglah dahaga. Ia merasa kekuatannya pulih kembali. Dengan demikian berarti ia bisa melanjutkan perjalanannya lagi hingga sampai ke Thaibah.
Peristiwa yang sangat luar biasa itu diceritakan kepada setiap orang dengan jujur, dan diakuinya sebagai bukti tanda keagungan Allah. “Aku merasa tiada haus lagi setelah merasakan minuman itu. Aku berpuasa di panas yang terik, namun tiada merasakan haus,” kata Umu Aiman. Itulah pertolongan Allah kepada hamba-Nya yang dengan ikhlas berjuang menegakkan agama-Nya.
Di Madinah, Umu Aiman bergabung dengan Rasulullah dan pasukannya. Ia selalu aktif ikut dalam sejumlah peperangan. Ia terjun ke medan perang untuk memberi minum para prajurit. Ia kirimkan putera tercintanya yang bernama Aiman untuk bertempur di medan laga, hingga kemudian gugur sebagai syuhada dalam perang Hunain. Zaid bin Haritsah suaminya pun juga mati syahid dalam perang Mu’tah. Namun demikian, Umu Aiman tetap tabah dan tawakal dalam menerima realita hidup.
Tangis Umu Aiman
Ketika Rasulullah wafat, Umu Aiman selalu menangis setiap kali mengingatnya. Abu Bakar dan Umar bin Khathab adalah orang yang selalu bertandang dan menjengunya. Setiap kali mereka datang, senantiasa mendapatkan Umu Aiman sedang menangis. “Mengapa engkau menangisinya, sedang kedudukan di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah?”, tanya Abu Bakar. Jawab Umu Aiman, “Aku tahu Rasulullah akan mati dan ia akan mendapatkan kebahagiaan di sisi Allah. Aku menangis bukan karena kematian beliau. Tapi karena wahyu telah terputus.” Dan ketika Umar bin Khathab meninggal terbunuh, ia pun menangis seraya berkata, “Sekarang Islam menjadi lemah.” Ia tidak rela melihat kelemahan umat Islam sepeninggal Umar.
Ketika anak dan suaminya gugur di medan laga, ia sama sekali tidak menangis. Sebab ia tahu, bahwa anak dan suaminya mati syahid dan sorga sebagai tempat kembali yang paling mulia. Ketika Rasulullah wafat, ia malah menangis karena wahyu terputus. Dan ketika Umar bin Khathab terbunuh dengan mengenaskan, ia menangis karena melihat kelemahan umat Islam. Adakah kini seorang wanita yang berjiwa besar seperti Umu Aiman?
Antara Umu Aiman dan Rasulullah terjalin rasa keakraban yang mendalam sejak Muhammad menjadi asuhannya. Suatu ketika Rasulullah pernah bersabda, “Inilah sisa keluargaku.” Karena dianggap sebagai ibunya sendiri, Muhammad selalu memperhatikan keperluan Umu Aiman, dan selalu menjenguk keadannya.
Rasulullah pada suatu hari pernah bercanda dengan Umu Aiman. Beliau mengatakan, “Tutuplah cadarmu, ya Uma Aiman.” Dan pernah pula pada suatu hari Umu Aiman berkata kepada Rasulullah, “Bawalah aku, ya Muhammad.” Rasulullah pun lalu bersabda, “Aku akan membawamu di atas anak unta.” Kemudian Umu Aiman menimpali, “Anak unta itu tidak akan mampu mengangkatku dan aku tidak mau.” Jawab Rasulullah, “Aku tetap akan membawamu di atas anak unta.”
Itulah sekelumit ilustrasi gurauan Rasulullah kepada ibunya. Gurauan Rasulullah memang benar. Sebab pada hakikatnya semua unta berasal dari anak unta. Melihat keakraban ini, Para sahabat sangat memahami kedudukan Umu Aiman dan putera-puteranya di sisi Rasulullah: Dan memahami pula kecintaan beliau terhadap mereka. Para sahabat pun kemudian ikut melakukan seperti apa yang di¬lakukan Rasulullah kepada Umu Aiman.
Di zaman pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Azis pernah terjadi suatu peristiwa yang menakjubkan. Ibnu Furat memusuhi Al-Hasan bin Usamah bin Zaid bin Haritsah. Ia berkata, “Hai putera Barakah.” Menerima hinaan dan olokan itu Al-Hasan mengadu kepada Abu Bakar ibnu Hazm, seorang Qadhi (hakim) di Madinah. Lalu Abu Bakar menegur Ibnu Furat, “Apa maksudmu dengan perkataan putera Barakah?”
Ibnu Furat menjawab, “Aku memanggil dia sesuai dengan nama panggilannya.” Abu Bakar ibnu Hazm lalu berkata, “Dengan begitu berarti engkau akan merendahkan dan menghinanya. Padahal keadaan dirinya cukup terkenal di dalam Islam. Rasulullah selalu menyebutnya dengan panggilan: Wahai ibu, wahai Umu Aiman. Sudah barang tentu Allah tidak akan memaafkan diriku bila aku memaafkan perbuatanmu. Aku harus menindakmu secara tegas.”
Atas peristiwa tersebut, maka Abu Bakar memerintahkan agar Ibnu Furat dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya. Memang, Umu Aiman pada kenyataannya bekas seorang sahaya. Tapi, kedudukannya di dalam Islam sangat mulia, setara dengan ibu Rasulullah. Dan beliau memang sudah mengakuinya sebagai ibu. Karenanya, hingga sampai anak cucunya pun masih harus dihormati. Kehormatan di¬berikan kepada anak cucu bukan saja karena perjuangan Umu Aiman, tapi karena memang akhlak mereka dapat dibanggakan dan diteladani.


Kisah Sa'ad bin Rabi

Dia adalah Ibnu Amir Al Anshari Al Khazraji Al Haritsi Al Badri An-Naqib As-Syahid, yang dipersaudarakan oleh Nabi Muhamad SAW dengan Abdurrahman bin Auf. Oleh karena itu, Sa’ad ingin memberikan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf dan menceraikan salah satu istrinya agar Abdurrahman berkenan menikahinya. Tetapi Abdurrahman bin Auf menolak tawaran tersebut dan mendoakan Sa’ad agar memperoleh kebaikan. 
Dia juga termasuk salah seorang pemimpin pada malam Lailatul Aqabah.
Diriwayatkan dari Muhamad bin Abdurrahman bin Sha’shabah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang bisa memberitahuku tentang perbuatan Sa’ad bin Rabi’?” Seorang sahabat Anshar kemudian menjawab, “Aku.” Dia lalu keluar dan mengelilingi para korban hingga menemukan Sa’ad dalam keadaan terluka, menahan sakit, dan berada dalam sisa-sisa hidupnya. Sahabat itu berkata, “Wahai Sa’ad, sesungguhnnya Rasulullah SAW memerintahkanku untuk melihat apakah kamu masih hidup atau sudah mati.” Sa’ad berkata, “Aku sudah mati. Sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW dan katakanlah bahwa Sa’ad berdoa semoga Allah membalas kebaikanmu (Nabi) dariku seperti Allah membalas kebaikan Nabi dari umatnya. Sampaikan juga salamku kepada kaummu dan katakan kepada mereka bahwa Sa’ad berkata kepada mereka, ‘Tak ada kesulitan bagimu di sisi Allah jika kamu ikhlas kepada Nabimu, walaupun hanya berupa kedipan mata’.”
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Istri dan kedua putri Sa’ad bin Rabi’ datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah kedua putri Sa’ad dan ayah mereka terbunuh dalam perang Uhud. Sementara paman mereka telah mengambil harta mereka dan dia tidak menyisakan harta sedikit pun untuk keduanya, padahal mereka berdua tidak bisa menikah kecuali mempunyai harta.” Mendengar itu Nabi SAW bersabda, “Allah pasti akan menyelesaikan masalah ini.” Lalu turunlah ayat tentang warisan. Setelah itu paman mereka dipanggil oleh Rasulullah SAW, dan beliau bersabda kepadanya, “Berikanlah kepada kedua putri Sa’ad 2/3 harta dan berilah ibu mereka 1/8 harta, sedangkan sisanya untukmu.”