Sabtu, 27 Oktober 2012

Utsman bin Mazh'un RA


            Utsman bin Mazh'un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan as sabiqunal awwalin. Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy. Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut. Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.
Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"
Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."
Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."
Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"
Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul. Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!”
Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"
Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab sempat berkata, "Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!”
Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi SAW wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran. Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."
Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang. Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran. Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."
          Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi. Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan, Ruqayyah binti Muhammad meninggal, Nabi SAW bersabda, "Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh'un..!!"

Utsman bin Mazh'un RA


            Utsman bin Mazh'un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan as sabiqunal awwalin. Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy. Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut. Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.
Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"
Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."
Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."
Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"
Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul. Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!”
Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"
Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab sempat berkata, "Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!”
Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi SAW wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran. Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."
Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang. Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran. Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."
          Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi. Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan, Ruqayyah binti Muhammad meninggal, Nabi SAW bersabda, "Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh'un..!!

Minggu, 21 Oktober 2012

KISAH ABU JAHAL, ABU LAHAB DAN MUSAILAMAH AL KADZAB


KISAH ABU LAHAB, ABU JAHAL DAN MUSAILAMAH AL KADZAB
KISAH ABU LAHAB
Kisah Abu Lahab tercantum dalam Al Qur’an surat Al Lahab (surat ke 111) ayat satu sampai dengan ayat lima yang artinya:
Dengan menyebut nama Allah Yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang
  1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa

  2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan

  3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak

  4. Dan ( begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar

  5. Yang di lehernya ada tali dari sabut
Dalam surat Al-Lahab ini menceritakan Bahwa Abu Lahab dan isterinya menentang Rasulullah SAW. Keduanya akan celaka dan masuk neraka. Harta Abu Lahab tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usaha-usahanya.
Abu Lahab adalah keturunan dari suku Quraisy yang memusuhi, menentang dan menghalang-halangi perjuanagn dakwah Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam di Makah. Abu Lahab selalu menghasud para pengikut Nabi Muahammad SAW
supaya tidak mengikuti ajaran Nabi. Ia berusaha sedemikian rupa dalam menghalang-halangi dakwah nabi, ia berupaya merendahkan agama Islam.
Pada suatu ketika Rasulullah SAW naik ke Bukit Shafa sambil berseru: “Mari berkumpul pada pagi hari ini!” Maka berkumpullah kaum Quraisy. Rasulullah SAW bersabda: “Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa musuh akan datang besuk pagi atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?”
Kaum Quraisy menjawab: “Pasti kami percaya.” Rasulullah SAW bersabda: “Aku peringatkan kalian bahwa siksa Allah yang dahsyat akan datang.” Berkatalah Abu Lahab: Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini, engkau kumpulkan kami?”.
Istri Abu Lahab juga mengikuti jejak Abu Lahab yaitu menghalang-halangi Islam dengan menyebarkan duri-duri di tempat yang akan dilalui Rasulullah SAW. Abu Lahab dengan perlakuannya seperi itu amatlah rugi dan sangat celaka, amalnya sa-sia, usahanya untuk menghalang-halangi Islam percuma, harta, pangkat, kedudukan yang dibanggakan Abu Lahab tidak berarti apa-apa. Abu lahab kelak akan disiksa dengan api neraka yang sangat panas.
KISAH ABU JAHAL
Abu Jahal nama lengkapnya adalah Abu Jahal bin Hisyam. Orang Quraisy biasa memanggilnya Abul Hakam. Ia termasuk orang yang terpandang di kalangan kabilah Quraisy. Dia adalah orang kafir Quraisy yang selalu menghalang-halangi dan memusuhi Nabi Muhammad SAW. Ejekan dan hinaan sering sekali dilontarkan dari mulutnya, menganggap Nabi gila “Hai Muhammad, apalagi yang hendak kau katakan hari ini?” suara Abu jahal dengan nada mengejek. “Ada berita penting yang harus kusampaikan,”Jawab Nabi, tenang.
“Apa itu?”
“Semalam aku telah isra’ ke Baitul Maqdis,”
“Haa…ha…gila. Kaumku! Kemarilah kalian semua! Ada berita penting dari Muhammad!” Abu Jahal memanggil orang-orag kafir Quraisy sambil terbahak-bahak.
Dalam waktu singkat penduduk mengelilingi Nabi.
“Ada apa lagi ini?” Tanya orang-orang Quraisy kasak kusuk.
“Muhammad selalu membuat ulah yang aneh-aneh, “kata kaum kafir Quraisy.
Tidak lama kemudian Nabi Muhammad SAW bercerita tentang pertemuannya dengan para Nabi. Mereka bahkan melakukan shalat berjamaah.
“Kalau kau memang bertemu para Nabi, bagaimana penampilan mereka itu? tanya Abu Jahal dengan berlagak menyelidik.
“Nabi Isa bertubuh sedang, tidak jangkung dan tidak pendek, warna kulitnya kemerahan. Kalau Nabi Musa bertubuh kekar dan jangkung. Kulitnya agak kehitaman. Sedangkan Nabi Ibrahim lebih mirip diriku, “kata Rasullullah SAW.
“Ah cerita seperti itu bisa dikarang! Siapa yang bisa meyakinkan kebenaran omongannya?”orang-orang Quraisy tetap tidak puas. Mereka lupa bahwa sejak kecil sampai dewasa (berusia 40 tahun) Rasulullah tidak sekalipun pernah berbohong.
“Bagaimana kami bisa percaya pada kata-katamu? Perjalanan yang begitu jauh engkau tempuh dalam waktu semalam saja?” Tanya seorang pemuka Quraisy.
Akhirnya Nabi bercerita lagi mengenai pertemuannya dengan beberapa kafilah yang sedang menuju Makah. Mereka baru akan tiba sore itu. Nabi menggambarkan ciri-ciri kafilah tadi dengan menjelaskan warna unta yang paling depan beserta bawaannya dan Nabi memberikan petunjuk arah pada kafilah yang tersesat.
Orang-orang kafir Quraisy segera pergi dan mencari kafilah yang diceritakan Nabi tadi ternyata keterangan Nabi benar. Meskipun demikian, kaum kafir yang sesat itu masih tidak mempercayai mukjizat yang diterima Rasulullah. Mereka tetap tidak mau beriman.
Abu Jahal Ingin membunuh Rasulullah SAW
Para petinggi Quraisy ingin berunding dengan Rasulullah SAW. Tatkala Rasulullah SAW berlalu, Abu Jahal dengan sombongnya berkata kepada kaum Quraisy, Wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela agama nenek moyang kita, menuduh kita menyimpang dari kebenaran serta mencaci tuhan-tuhan kita. Sungguh aku berjanjiatas nama Allah untuk duduk di dekatnya dengan membawa batu besar yang mampu aku angkat dan aku hempaskan ke atas kepalanya saat dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka setelah itu, kalian hanya memiliki dua pilihan; menyerahkanku atau melindungiku. Dan setelah itu, Silakan Bani ‘Abdi Manaf berbuat apa saja yang mereka mau.”
Mereka menjawab, Demi Allah, “Demi Allah! Sekali-kali Kami tidak akan menyerahkanmu. Lakukan apa yang engkau inginkan.”
Pagi harinya, Abu Jahal benar-benar mengambil batu besar sebagamana yang ia katakan, kemudian duduk sambil menunggu Rasulullah SAW, tak berapa lama, Rasulullah dating sebagaimana biasa. Lalu beliau melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah datang dan duduk ditempat mereka berkumpul sambil menunggu yang akan dilakukan oleh Abu Jahal. Rasul saat sujud, Abu jahal mengangkat batu besar kemudian berjalan menuju kearah nabi hingga jaraknya dekat. Akan tetapi anehnya ia berbalik mundur, wajahnya pucat pasi ketakutan. Tangannya sudah tidak bisa menahan beratnya batu hingga dia melemparkannya. Menyaksikan hal seperti itu, para pemuka Quraisy bergegas menyongsong dan bertanya”Ada apa denganmu, wahai Abu Jahal.”
“Aku telah berdiri menuju kearahnya untuk melakukan yang telah ku katakan semalam, namun ketika aku mendekatinya seakan ada onta jantan yang menghalangiku. Aku belum pernah melihat onta jantan yang lebih menakutkan darinya, baik rupanya, lehernya ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Kata Abu Jahal.
Walaupun demikian Abu Jahal tidak ada sadarnya pada saat parlemen “Darun Nadwah” mengadakan sidang istimewa, Abu Jahal mewakili kabilah Bani Makhzum.
Sidang parlemen ini menyepakati terhadap keputusan keji untuk membunuh Nabi Muhammad SAW . Usulan keji itu berasal dari penjahat kelas kakap Makah yaitu bernama Abu Jahal dengan usulan bahwa setiap kabilah harus memilih seorang pemuda yang gagah dan bernasab baik sebagai perantara, kemudian masing-masing diberikannya pedang yang tajam, lalu mereka arahkan untuk menebas secara serentak seakan tebasan satu orang untuk kemudian membunuhnya. Dengan begitu akan terbebas dari ancamannya. Berarti darahnya telah ditumpahkan oleh semua kabilah.
Tatkala keputusan keji itu akan dilaksanakan turunlah Malaikat Jibril untuk memberitahukan perihal persekongkolan Kaum Quraisy. Atas izin Allah SWT Nabi Muhammad SAW berhijrah meninggalkan Makah.
Abu Jahal dengan penuh keangkuhan dan kesombongan yakin betul akan berhasil membunuh Nabi seraya berkata pada rekannya Jika kalian tidak melakukannya , maka dia akan menyembelih kalian. Sekalipun persiapan yang dilakukan orang Quraisy untuk melaksanakan rencana keji sedemikian rapinya namun mereka mengalami kegagalan.
Abu Jahal gagal menangkap nabi lantas melabrak menyatroni Rumah Abu Bakar dan keluarlah Asma binti Abu Bakar. Abu Jahal yang terkenal dengan perangainya yang buruk menampar pipi Ama dengan sebuah tamparan yang menyebabkan anting-antingnya jatuh.
Singkat cerita dengan sisa-sisa kecongkakan dan keangkuhannya dia berusaha untuk tegar dan semangat. Abu Jahal yang suka mencaci maki Rasulullah SAW itu diserang oleh dua pemuda secara serentak pada saat perang Badar dengan pedangnya hingga dapat membunuhnya. Dua pemuda tersebut bernama Muadz bin Amr Al-Jamuh dan Mu’awwid bin Afra.
KISAH MUSAILAMAH AL KADZAB
Musailamah Al Kadzb adalah seorang nabi palsu. Ia mendakwahkan dirinya jadi nabi. Ia berusaha untuk menandingi Al Qur’an, padahal mustahil bagi manusia dapat membuat susunan yang serupa dengan Al Qur’an yang dapat menandinginya. Keindahan susunan dan gaya bahasanya serta isinya tidak ada tara bandingannya. Al Qur’an adalah mukjizat yang terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Di dalam Al Qur’an sendiri memang terdapat ayat-ayat yang menantang setiap orang dan mengatakan: kendatipun berkumpul jin dan manusia untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an, mereka tidak akan dapat membuatnya, sebagaimana Firman Allah SWT
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mengatakan yang serupa Al Qur’an ini, niscaya tidak mereka akan dapat membuatnya, biarpun sebagian mereka membantu sebagian (yang lain).” (QS Al Isra’ ayat 88).
Musailamah Al Kadzab nabi palsu itu membuat gubahan untuk menandingi Al Qur’an. Kata-kata Musailamah Al Kadzab yang dianggapnya dapat menandingi sebagian ayat-ayat Al Qur’an contohnya adalah:
Artinya: Hai katak (kodok) anak dari dua katak, berkuaklah sesukamu,bahagian atas engau di air dan bahagian bawah engkau di tanah.
Seorang sasterawan Arab yang ternama yaitu Al Jahiz memberikan penilaian gubahan Musailamah Al Kadzab ini dalam bukunya yang bernama “ Al Hayawan “ sebagai berikut: Saya tidak mngerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah menyebut katak (kodok) dan sebagainya itu, Alangkah kotornya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Al Qur’an itu kepadanya sebagai wahyu.”
Musailamah Al Kadzab menemui kegagalan dalam menandingi Al Qur’an. Ia bahkan mendapat cemoohan dan hinaan dari masyarakat.
Musailamah Al Kadzab yang mengaku sebagai nabi ini akhirnya ditumpas maka terjadilah pertempuran Yamamah pada tahun 12 Hijriyah, yaitu pertempuran antara pasukan Islam yang dipimpin oleh Kalid abi Walid melawan pasukan Musailamah Al Kadzab. Dengan pertempuran ini pasukan Islam dapat menumpas pasukan Musailamah Al Kadzab. Akhirnya Musailamah Al Kadzab berhasil dibunuh oleh Wahsyi.
DIBAWAH INI ADALAH PERILAKU YANG TIDAK TERPUJI
(JANGAN DITIRU YA)
Abu Lahab dan Abu Jahal pendengki
Abu Lahab dan Abu jahal adalah seorang yang mempunyai perilaku buruk yaitu berupa sifat dengki. Dengki atau iri hati adalah sifat dan sikap tidak senang dengan kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain yang memilikinya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka dengki adalah menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.
Dengki seperti yang telah dilakukan oleh Abu Lahab dan Abu Jahal adalah sangat terlarang dalam agama Islam, karena dengki itu akan mengakibatkan malapetaka dan kehancuran bagi yang dengki itu sendiri maupun kepada orang lain.
Orang yang dengki seperti Abu Lahab dan Abu Jahal ini akan selalu membuat rencana yang tidak baik terhadap orang yang didengkinya, perasaannya akan selalu resah dan gelisah yang mendalam karena keberhasilan orang lain, sehingga ia berusaha sekuat tenaga, daya dan upaya untuk merebutnya.
Perilaku dengki Abu Lahab dan Abu Jahal dalam sejarah yaitu seperti menghasud, memfitnah, menghalang-halangi perjuangan, menolak dan menyanggah kebenaran, menghina, merendahkan, membanggakan harta, pangkat dan ketenaran, menjerumuskan, memusuhi, menjebak dan bahkan ingin membunuhnya.
Sifat dengki, bukanlah sifatnya orang yang beriman, tetapi sifat ini adalah sifat Iblis. Orang yang dengki akan mendapat dosa yang besar dari Allah SWT. Islam mengajarkan untuk saling tolong-menolong. Kita harus menjaga persaudaraan, saling membantu dan saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan menetapi kesabaran.
Firman Allah SWT
Artinya:…Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.S Al Maidah (5): 2)
Artinya: …Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran Q.S Al Ashr (103):3)
Oleh karena itu kita harus bisa menghindari perilaku dengki seperti yang telah dilakukan oleh Abu Lahab dan Abu Jahal karena kedua orang tersebut adalah orang yang paling jahat dan jelek sekali moralnya, seakan-akan tidak ada lagi kebaikannya, hatinya tidak terbuka sedikitpun untuk menerima kebenaran. Makanya kita sebagai muslim jangan sampai mengikuti perilakunya. Kita harus berdaya upaya untuk menghindari perilaku dengki agar dapat selamat di dunia dan di akherat kelak.
Musailamah Al Kadzab pembohong
Bohong adalah tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Musailamah Al Kadzab adalah seorang yang berperilaku bohong. Ia mengaku sebagai Nabi, padahal setelah Nabi Muhammad SAW tidak ada lagi nabi. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir. Nabi Akhiruz zaman.
Musailamah Al Kadzab menunjukkan perilaku yang buruk, tidak mencerminkan perilaku yang terpuji, bahkan merupakan induk dari berbagai akhlak yang buruk. Berbuat bohong sangat merugikan diri sendiri dan orang banyak.
Perilaku bohong merupakan penyakit rokhani, ucapannya tidak akan dipercaya orang, sekalipun yang diucapkannya itu benar. Dalam hal bohong seperti yang dilakukan oleh Musailamah Al Kadzab banyak macam ragamnya diantaranya, mendustakan ayat-ayat Allah SWT dan Rasul-Nya, berbohong kepada orang lain, berbohong antara atasan dan bawahan, pemimpin dengan pemimpin, berbohong antar teman sendiri dll.
Berbohong merupakan akhlak yang tercela yang harus kita hindari sejauh mungkin, apalagi berbohong kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akan berakibat yang fatal sebagaimana Firman Allah SWT
Artinya: “Dan pada hari Kiamat akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah SWT mukanya menjadi hitam. Bahkan dalam neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri” (Q.S. Az Zumar ( 39 ): 60)
Berbohong selain termasuk sifat tercela yang pelakunya akan ditempatkan di neraka Jahannam, juga merupakan salah satu sifat dari munafik. Dalam hadits Bukhari Muslim disebutkan:
Artinya: “ Tanda-tanda orang Munafik ada tiga: apabila berbicara selalu bohong / dusta, apabila berjanji tidak ditepati/ menyelisihi, dan apabila dipercaya berhianat (H.R. Bukhari Muslim).
Perilaku seperti yang dilakukan Musailamah Al Kadzab si Nabi Palsu itu harus kita hindari. Perilaku yang harus kita pupuk adalah perilaku untuk memperbaiki iman kita, karena dengan iman yang baik akan membuahkan akhlak yang terpuji dan dari akhlak yang terpuji akan mewujudkan perbuatan yang terpuji, tegas, lugas dan tidak akan berbohong.
Orang yang selalu berkata jujur, benar, adil dan terbuka akan memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akherat kelak. Oleh karena itu jauhilah sifat –sifat tercela seperti bohong ini dalam kehidupan sehari-hari sebagai bukti takwa kita terhadap Allah SWT.
Orang yang jujur akan dipercaya orang lain, disukai teman, dicintai Allah SWT dan Rasul-Nya dan bisa hidup dengan tenang dan nyaman. Akan tetapi sebaliknya apabila sifat bohong kita lakukan akan membuat kita sendiri rugi. Kita akan dijauhi teman, dibenci Allah SWT dan rasul-Nya dan akan selalu merasakan resah, gundah, gelisah dalam hidup dan kehidupannya.

Minggu, 14 Oktober 2012

Amir bin Fuhairah RA

  Amir bin Fuhairah RA adalah hamba sahaya milik Abu Bakar yang telah dibebaskan. Sungguh Islam telah mengangkat derajat seseorang, dari seorang budak, ia dimuliakan tiada tara karena akhirnya ia menjadi seorang hafidz (Seseorang yang Hafal) Al Qur'an.
Ketika Nabi SAW dan Abu Bakar berhijrah ke Madinah, dua orang bersahabat ini bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari untuk menghindari pengejaran kaum Quraisy. Dalam tiga hari tersebut, Amir menggembalakan kambing seperti biasanya bersama penggembala lain, tetapi ketika pulang, ia berlambat-lambat hingga gelap malam, dan membawa kambing-kambing tersebut ke Gua Tsur, sehingga Nabi SAW dan Abu Bakar dapat meminum susunya. Pada pagi harinya ia telah berada di padang gembalaan bersama dengan penggembala lainnya, sehingga orang-orang kafir Quraisy sama sekali tidak curiga atas apa yang dilakukannya.
Sebagai seorang Hafidz Qur'an, ia dipilih Nabi SAW menjadi salah satu dari 70 sahabat yang dikirim kepada Bani Amir di Najd untuk mendakwahi mereka. Tetapi kelompok dakwah sahabat ini dikhianati  dan mengalami tragedi pembantaian di Bi'r Ma'unah. Ketika tombak telah menembus tubuhnya, dalam keadaan sakit yang tidak terkira, Amir bin Fuhairah berkata, "Demi Allah, aku telah berjaya…" 
Setelah itu tubuhnya terkulai roboh, tetapi tiba-tiba jenazahnya terangkat ke langit. Kejadian ini disaksikan langsung oleh pembunuhnya, Jabbar bin Salma, dan selalu terngiang-ngiang ucapan Amir bin Fuhairah dan peristiwa ajaib tersebut. Di kemudian hari ia memperoleh penjelasan bahwa “kejayaan” dimaksud adalah surga. Jabbarpun akhirnya memeluk Islam karena peristiwa ini. Sungguh suatu tambahan kemuliaan bagi Amir, karena kesyahidannya membawa hidayah bagi orang lain. 
            Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa sahabat yang ditombak oleh Jabbar tersebut adalah Haram bin Milhan.

Abdullah bin Abbas RA

Abdullah bin Abbas masih sepupu Nabi SAW sendiri walaupun usianya berbeda jauh, ia  putra dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman beliau. Ia hidup dan bergaul bersama Rasulullah SAW ketika masih anak-anak. Ia berhijrah ke Madinah pada tahun 5 hijriah ketika berusia 8 tahun. Ia berangkat bersama kakaknya, Fadhl bin Abbas RA dan seorang budaknya, Abu Rafi. Mereka sempat tersesat di Rakubah sebelum akhirnya sampai di kediaman Bani Amr bin Auf dan masuk ke Madinah. 
Suatu ketika Nabi SAW menariknya mendekat, menepuk-nepuk bahunya dan berdoa untuknya, "Ya Allah, berilah ia ilmu agama yang mendalam, ajarkanlah kepadanya ta'wil (yakni, ilmu tentang tafsir Al Qur’an) ." (Allahumma, faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil).
Doa ini diulangi beberapa kali oleh Nabi SAW ketika beliau bertemu Ibnu Abbas, sehingga ia benar-benar menjadi orang yang sangat mendalam ilmu agamanya dan menjadi ahli tafsir Al Qur'an.
Abdullah bin Abbas memang selalu menghadiri majelis pengajaran Nabi SAW, dan menghafalkan apa yang beliau sampaikan. Ketika berusia 10 tahun, ia telah mampu menghafal Al Qur'an hingga manzil (yang diturunkan) terakhir. Ketika Rasulullah wafat, ia berusia 13 tahun dan saat itu ia telah menjadi seorang ahli tafsir Al Qur'an yang diakui oleh para sahabat lainnya. Namun demikian ia tidak berhenti menggali dan mencari ilmu dari para sahabat-sahabat Nabi SAW yang terdahulu. Ia tidak segan memacu tunggangannya mengarungi padang pasir menemui seorang sahabat, yang tidak terkenal sekalipun, bila didengarnya ia pernah memperoleh pengajaran (atau suatu hadits) langsung dari Nabi SAW. Sungguh, kehausannya akan ilmu agama, apalagi yang bersangkutan dengan al Qur’an dan hadits Nabi SAW seakan tak pernah terpuaskan.  
Suatu ketika Ibnu Abbas melihat Nabi SAW sedang shalat sunnah, segera saja ia berdiri di belakang beliau dan mengikuti shalat. Melihat Ibnu Abbas, beliau menarik tangannya hingga berdiri sejajar, kemudian meneruskan shalatnya. Tetapi Abdullah bin Abbas mundur selangkah sambil tetap meneruskan shalat. Setelah selesai shalat, Nabi SAW menanyakan kenapa ia mundur lagi ke belakang, Ibnu Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, engkau adalah pesuruh Allah, bagaimana mungkin saya dapat berdiri sejajar denganmu."
Rasulullah SAW tersenyum, dan kembali mendoakannya seperti sebelumnya, yakni : Allahumma faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil.
            Seusai perang Hunain, Nabi SAW menyatakan bahwa sepeninggal beliau kelak, orang-orang Anshar akan mengalami perlakuan pilih kasih dari pihak yang berkuasa, hal ini terekam kuat dalam ingatannya walau saat itu ia masih kecil. Hal itu memunculkan tekad dalam hatinya untuk membela orang-orang Anshar jika saat itu tiba.
Pada masa khalifah Umar atau Utsman (perawi Abu Zinad ragu antara Umar atau Utsman), sekelompok sahabat, di antaranya Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas, mewakili orang-orang Anshar meminta kepada khalifah agar memenuhi hajat kebutuhan mereka. Beberapa sahabat berdiri mengutarakan keutamaan orang-orang Anshar dan jasa-jasa mereka saat bersama Nabi SAW, dengan harapan khalifah bisa memenuhinya.
Kebutuhan orang-orang Anshar yang diperjuangkan saat itu memang nilainya cukup besar, sehingga khalifahpun memberikan berbagai argumen dan alasan, karena tidak bisa memenuhinya begitu saja. Beberapa orang sahabat akhirnya menerima alasan khalifah, termasuk sebagian sahabat Anshar. Tetapi ternyata Ibnu Abbas tidak mau menyerah begitu saja, selalu terngiang-ngiang “ramalan” Rasulullah SAW tentang ketidak-adilan yang akan dialami kaum Anshar. Ia akan merasa sangat bersalah jika ia melihat sisi ketidak-adilan tersebut muncul, dan tidak berbuat apa-apa untuk melawannya.
Tiba-tiba Ibnu Abbas berdiri dan dengan tegas ia mendebat semua argumentasi khalifah. Doa Nabi SAW,  "Faqqihu fid diin wa 'allimu fit ta'wil" benar-benar mewujud dalam dirinya. Semua argumen dan alasan itu dapat dipatahkannya sehingga mau tidak mau khalifah memenuhi kebutuhan para sahabat Anshar tersebut. Ini bukan sikap menang-menangan, tetapi bagaimana mendudukkan masalah sehingga khalifah terhindar dari sikap pilih kasih, dan tetap berdiri di atas keadilan. Dan khalifah sendiri akhirnya menyadari, bukannya marah, tetapi justru ia berterima kasih atas nasehat yang diberikan Abdullah bin Abbas.
Hassan bin Tsabit, yang digelari sebagai ‘Penyair dan Pembela Rasulullah SAW’, berkata kepada para sahabat yang bersama-sama menghadap khalifah, "Demi Allah! Sesungguhnya ia (Ibnu Abbas RA) adalah yang paling utama di antara kalian, karena ia adalah sisa kenabian dan pewaris Ahmad SAW. Kesamaan ras dan kemiripan wataknya memberi petunjuk kepadanya."
Begitu juga yang terjadi dengan sahabat Abu Ayyub al Anshari. Sahabat Anshar ini menyediakan rumahnya untuk ditempati Nabi SAW ketika beliau pertama kali tiba di Madinah. Selama berbulan-bulan beliau tinggal di rumahnya sampai kaum muslimin selesai membangun Masjid Nabawi, dan rumah tinggal beliau di serambi masjid tersebut. Pada masa khalifah Muawiyah, ia mengalami masalah keuangan dan terlilit hutang. Ketika menghadap khalifah dan menyampaikan permasalahannya, ia tidak memperoleh apapun kecuali “nasehat” untuk bersabar, sebagaimana diramalkan Rasulullah SAW. Akhirnya ia berkunjung kepada Abdullah bin Abbas di Bashrah.
Ibnu Abbas menyambut kehadiran Abu Ayyub al Anshari dengan hangat. Ia membiarkan rumahnya ditempati Abu Ayyub dan semua kebutuhannya dipenuhi sehingga bisa menyelesaikan masalah hutangnya, bahkan masih banyak kelebihannya. Ibnu Abbas berkata kepada Abu Ayyub, "Aku akan berbuat baik kepadamu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepada Rasulullah SAW.  Aku dan keluargaku pindah dari rumah ini agar engkau bisa menempatinya, sebagaimana engkau dan keluargamu telah mengosongkan rumahmu untuk bisa ditinggali oleh Rasulullah SAW."
Pada masa tuanya, Ibnu Abbas menjadi buta. Suatu ketika ia masuk ke Masjidil Haram dengan dituntun oleh Wahab bin Munabbih. Ketika didengarnya beberapa orang bertengkar dengan suara keras, ia meminta Wahab membawanya ke sana. Ia memberi salam dan meminta ijin duduk. Setelah duduk, ia berkata, "Apakah kamu tidak mengetahui hamba-hamba Allah yang sebenarnya? Mereka adalah manusia yang tidak ingin berkata-kata karena takut kepada Allah, padahal ia tidak bisu bahkan sangat fasih tutur bahasanya, tetapi karena selalu sibuk memuji Allah dan mereka tidak dapat berkata yang sia-sia. Pada tingkat keimanan yang seperti itu, mereka selalu bersegera berbuat kebaikan, mengapa kalian menyimpang dari jalan itu?"
Mereka yang sedang bertengkar atau berdebat tersebut menjadi reda emosinya, dan meminta nasehat lebih banyak kepada Abdullah bin Abbas.
Sebagian riwayat menyebutkan, Abdullah bin Abbas memilih untuk menghabiskan masa hidupnya di Thaif, dan bukannya di Tanah Haram Makkah, walaupun sebenarnya ibadah atau kebaikan yang dilakukan di sana  dilipat-gandakan sebanyak seratus ribu kali. Tetapi yang menjadi alasannya untuk tidak tinggal di Makkah, adalah sikap hati-hati (wara') dan rasa takutnya (khauf) kepada Allah SWT. Dalam pemikiran dan penafsiran Ibnu Abbas, orang-orang yang baru tersirat dan berniat saja untuk berbuat keburukan dan berada di Tanah Haram (Makkah dan Madinah), ia sudah jatuh dalam keburukan dan berdosa, bahkan bisa jadi dosanya sudah berganda sesuatu tingkat kekuatan niatnya. Padahal kalau di tanah halal, yakni diluar Makkah dan Madinah, niat saja belum jatuh dalam keburukan dan berdosa, jika ia belum merealisasikan niatnya tersebut. Bahkan bisa jadi ia memperoleh pahala jika ia membatalkan niatnya tersebut.
Sungguh suatu sikap hati-hati (wara’) dan takut kepada Allah SWT (khauf) yang tiada taranya. Padahal seorang sahabat “selevel” Ibnu Abbas, yang telah didoakan kebaikan oleh Nabi SAW, apa masih mungkin tersirat suatu niat untuk berbuat keburukan?? Tetapi itulah memang ciri khas para sahabat Nabi SAW, walaupun kebaikan dan jaminan keselamatan dari Nabi SAW telah mereka terima dari sabda-sabda beliau, tetapi mereka masih merasa 'tidak aman' dengan Makar Allah, sungguh suatu sikap tawadhu' yang patut diteladani.

Abdullah bin Ja'far RA

   Abdullah bin Ja'far masih keponakan Rasulullah SAW, ia putra dari Ja'far bin Abi Thalib. Ia masih berusia tujuh tahun ketika berba'iat kepada Nabi SAW. Ketika Ja'far bin Abi Thalib gugur syahid di perang Mu'tah, Rasulullah SAW memanggil anak-anaknya, Abdullah, Aun dan Muhammad. Beliau menentramkan hati mereka karena kehilangan ayahnya, dan mendoakan agar selalu diberikan rahmat Allah. Doa Nabi SAW inilah yang membuat Abdullah menjadi sangat pemurah dan baik hati seperti bapaknya, sehingga ia digelari 'Qutbus Sakha', Kepala para Dermawan. 
Sewaktu masih kecil, Ibnu Ja’far pernah membantu pamannya Ali bin Abi Thalib menolong seseorang, dan ia diberi hadiah orang yang ditolongnya itu sebanyak empat ribu dirham, tetapi ia  menolak dan berkata, "Kami tidak menjual amalan baik kami."
Suatu ketika ia diberi uang oleh seseorang sebanyak duaribu dirham, dan dalam sekejab uang itu habis dibagi-bagikan di jalan Allah. Pada kali yang lain, ada pedagang yang membawa sejumlah besar gula ke pasar, tetapi dagangannya tidak laku, tidak ada orang yang membelinya. Abdullah menyuruh pembantunya memborong semua gula tersebut dan membagikannya secara cuma-cuma pada penduduk sekitarnya.
Ketika sahabat Zubair bin Awwam gugur, anaknya, Abdullah bin Zubair menemuinya dan berkata, "Wahai Abdullah, kutemukan dalam catatan keuangan ayahku, engkau berhutang satu juta dirham."
"Baiklah," Kata Abdullah bin Ja'far, "Engkau dapat mengambil uang itu, kapan saja kamu suka!"
Tetapi tidak berapa lama Abdullah bin Zubair kembali dan meminta maaf karena terjadi kekeliruan, ayahnya-lah yang mempunyai hutang satu juta dirham kepada Abdullah bin Ja'far. Maka Abdullah berkata, "Jika demikian, aku halalkan hutang ayahmu kepadaku!"      
Tetapi Abdullah bin Zubair tidak mau hutang ayahnya dihalalkan begitu saja, ia tetap ingin membayar hutang tersebut. Maka Abdullah bin Ja'far berkata, "Baiklah jika demikian, engkau boleh membayar sesuai kemampuanmu!"
“Maukah engkau menerima sebidang tanah kecil yang tandus sebagai pembayarannya?" Kata Ibnu Zubair.
Abdullah bin Ja'far dengan senang hati menerimanya sebagai pelunas hutang Zubair bin Awwam, walau nilainya tidak sebanding. Ia mendatangi tanah tandus tersebut dan memerintahkan pembantunya untuk membentangkan sajadah di atasnya, kemudian ia shalat dua rakaat dan bersujud cukup lama. Setelah selesai shalat, ia menunjuk satu titik, dan menyuruh pembantunya untuk menggali. Tak terlalu lama menggali, muncullah mata air di tanah tandus tersebut.
          Abdullah bin Ja'far menikahi dua orang cucu Rasulullah SAW, putri Fatimah dan Ali, secara berturutan. Pertama ia menikahi Zainab binti Ali, ia mempunyai dua orang anak yang diberi nama Abdullah dan Aun, tetapi keduanya meninggal ketika masih kecil. Setelah itu ia menikahi Ummu Kultsum binti Ali, kakak Zainab, yang sebelumnya telah menikah dengan Umar bin Khaththab dan dua orang saudaranya, Aun bin Ja'far dan Muhammad bin Ja'far

Abu Jandal bin Suhail RA

Ketika Abu Jandal bin Suhail bin Amr memeluk Islam, kaum keluarganya membelenggu dan menyiksanya sehingga ia tidak bisa menyusul Nabi SAW ke Madinah sebagaimana orang Islam lainnya. Suatu saat ia berhasil meloloskan diri melalui bagian bawah kota Makkah, dan menemui orang-orang Islam yang saat itu sedang berada di Hudaibiyah, kedua tangannya dalam keadaan terbelenggu.
            Saat itu utusan kaum Quraisy, Suhail bin Amr, yang tidak lain adalah ayah Abu Jandal sendiri, sedang mengadakan pembicaraan dengan Nabi SAW tentang butir-butir Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu butir tersebut adalah : Jika seorang lelaki dari Makkah datang kepadamu (Nabi SAW), walaupun ia telah memeluk Islam, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami (Kaum Quraisy). 
Ketika Suhail melihat kehadiran Abu Jandal, Suhail berkata kepada Nabi SAW, "Hai Muhammad, dia ini adalah orang pertama yang harus engkau kembalikan kepada kami."
Nabi SAW sebenarnya berusaha mempertahankan Abu Jandal dengan dalih perjanjian tersebut belum sampai tahap disepakati, tetapi masih dalam perundingan. Tetapi Suhail tetap berkeras, sehingga akhirnya Nabi SAW merelakan Abu Jandal dibawa kembali ke Makkah. Abu Jandal sempat berkata, "Hai orang-orang Islam, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrik, sedangkan aku telah datang kepada kalian sebagai muslim? Apakah kalian tidak melihat apa yang kuderita?"
Tentu saja kaum muslimin sangat tersentuh dengan keadaan tsb. tetapi apa yang telah diputuskan oleh Nabi SAW, itulah hukum yang harus ditaati. Hanya Umar bin Khaththab yang sempat mempertanyakan kepada Nabi SAW, tetapi ia pun akhirnya bisa menerimanya setelah dijelaskan Abu Bakar RA. Nabi SAW hanya bisa menasehati Abu Jandal untuk bersabar.
Berlalulah waktu, seorang muslim lagi, yakni Abu Bashir, lepas dari kungkungan dan siksaan kamu Quraisy dan berlari ke Madinah. Kaum Quraisy mengirim dua utusan ke Madinah untuk menjemput Abu Bashir, dan tidak bisa tidak, karena masih terikat Perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW SAW harus merelakan Abu Bashir dibawa kembali ke Makkah.
Dalam perjalanan tersebut, dengan suatu muslihat Abu Bashir berhasil membunuh salah satu utusan, dan utusan lainnya berhasil lari      ke Madinah meminta perlindungan Nabi SAW. Ketika Abu Bashir menghadap Nabi SAW di Madinah, beliau menjelaskan tentang Perjanjian Hudaibiyah dan beliau tidak mungkin mempertahankannya di Madinah. Abu Bashir bisa memahami kesulitan yang dihadapi Nabi SAW, karena itu ia lari ke pesisir menyembunyikan diri.
Beberapa waktu kemudian Abu Jandal juga berhasil lolos dari kaum Quraisy, dan ia mengikuti jejak Abu Bashir menyembunyikan diri di pesisir. Begitulah, setiap ada orang muslim yang lolos dari kaum Quraisy, mereka bergabung dengan Abu Bashir dan Abu Jandal hingga mencapai jumlah satu isbahah (10 - 40 orang). Kelompok yang dipimpin oleh Abu Bashir dan Abu Jandal ini selalu menghadang dan membunuh kafilah dagang Quraiys yang menuju Syam, dan merampas hartanya.
            Keadaan itu ternyata menjadi “bumerang” bagi kaum Quraisy, yang akhirnya memaksa orang-orang Quraisy menemui Nabi SAW agar kelompok Abu Bashir dan Abu Jandal ditarik ke Madinah dan tidak mengganggu kafilah-kafilah dagang orang Quraisy ke Syam. Itu artinya mereka sendiri yang berinisiatif membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Dan kelompok Abu Bashir dan Abu Jandal ini akhirnya bergabung dengan Nabi SAW di Madinah

Jumat, 21 September 2012

Umu Aiman

Kepada para sahabat, Rasulullah pernah bersabda, “Ini adalah ibuku sesudah ibuku.” Dan beliau memang selalu memanggilnya: Wahai ibu, meski bukan ibu kandungnya sendiri.

Siapa dia? Tiada lain Umu Aiman Al-Habasyiah. Seorang wanita dari Habasyah yang masuk Islam setelah Khadijah isteri Rasulullah. Ia adalah orang kedua yang memeluk Islam, dan meninggal sebagai syuhada dalam perang Hunain.
Ibnul Qayyim Al-Jauzi dalam kitab karyanya Zadut Ma’ad banyak mengisahkan Umu Aiman sebagai wanita yang mulia dan agung. Ia adalah ibu dari Usamah bin Zaid, kekasih Rasulullah dan panglima pasukan Islam ketika perang melawan Romawi.
Masa kecil hingga dewasa dijalani di rumah Abdul-Muthalib bersama Abdullah dan Aminah sebagai tuannya. Karena itu, Umu Aiman adalah wanita yang paling komplit menghayati kehidupan Muhammad, sejak masih bayi hingga menjadi Rasul.
la mengetahui, betapa sedih hati Abdul-Muthalib ketika ditinggal mati Abdullah anak kesayangannya sepulang dari berniaga ke Syam. Ia menyaksikan betapa gembira Abdul Muthalib menerima cucu lelakinya dari Aminah yang diberi nama Muhammad sehingga Abdul-Muthalib memberikan hadiah kepada seluruh keluarga dan orang-orang yang dekat dengannya.
Umu Aiman teringat masa tinggalnya di Madinah yang singkat, saat Muhammad baru berusia enam tahun. Waktu itu Aminah membawa puteranya berziarah ke kubur ayahandanya. Dan untuk beberapa waktu Aminah tinggal di rumah paman-pamannya.
Ia menyaksikan sendiri masa kecil Rasulullah, yang suka bermain-main dengan putera-putera pamannya. Pernah suatu hari Umu Aiman menyaksikan, ada seorang Yahudi memandang Muhammad kemudian berkata, “la adalah nabi umat ini, dan inilah tempat hijrahnya.”
Paman-pamannya mengetahui apa yang dikatakan Yahudi itu, dan memberitahukannya kepada ibu Muhammad. Mereka minta agar Aminah melindungi anaknya dari pengkhianatan orang-orang Yahudi. Karena merasa khawatir, maka Aminah kemudian segera kembali ke Makkah dan meninggalkan Madinah untuk menyelamatkan jiwa Muhammad, si calon nabi.
Umu Aiman masih ingat persis bagaimana Aminah sakit dalam perjalanan dari Madinah ke Mekkah yang akhirnya meninggal di tengah perjalanan di desa Abwa’. Kemudian Muhammad yang masih kecil, mengelilingi jasad ibunya, dan bertanya kepada Umu Aiman. Berbicara dengan Muhammad yang kecil, Umu Aiman hanya bisa berkata, “Itu adalah kematian, wahai anakku.” Kemudian ia membungkus jasad yang tertidur itu dan memejamkan kedua matanya. Setelah jasad Aminah dikubur, ia membawa si anak yatim piatu itu kembali ke Mekkah dan menyerahkannya kepada Abdul-Muthalib kakeknya. Ia mengasuh Muhammad sampai remaja, bahkan menemaninya dalam dakwah dan jihad di medan perang.
Dibebaskan Rasulullah
Ketika Muhammad menikah dengan Khadijah, beliau membebaskan Umu Aiman dan mengawinkannya dengan Ubaid bin Zaid. Dari perkawinan ini lahirlah Aiman, sehingga kemudian lebih akrab dipanggil Umu Aiman.
Ketika Muhammad menyatakan kerasulannya, Umu Aiman adalah wanita kedua setelah Khadijah yang menyatakan keislamannya. Betapa tidak, ia telah lama mengenal kelurusan budi Muhammad sejak dalam asuhannya. Ia mengetahui sendiri ramalan orang Yahudi sewaktu Muhammad dibawa ke Madinah. Ia mendengar sendiri berita dari Halimah Sa’diyah yang menyusui Rasulullah tentang perkataan pendeta Bukhaira kepada Abu Thalib perihal tanda-tanda kenabiannya sewaktu dibawa berdagang ke Syam.
Mengetahui ketulusan hati Umu Aiman, Rasulullah pernah bersabda, “Barangsiapa ingin mengawini seorang wanita calon penghuni sorga, maka hendaklah ia mengawini Umu Aiman.” Setelah suami pertamanya telah meninggal, Umu Aiman dinikahi oleh Zaid bin Haritsah, yang kemudian melahirkan Usamah. Dialah seorang pahlawan muda Islam yang shalih dan gugur sebagai syuhada ketika melawan pasukan Romawi.
Sejauh mana ketabahan dan kesetiaan Umu Aiman terhadap perjuangan Islam, bisa dilihat ketika ia mengikuti Rasulullah hijrah ke Madinah. Ia tidak memiliki sanak keluarga yang melindungi dirinya dari gangguan orang musyrik. Karena tiada memiliki kendaraan, ia terpaksa berjalan kaki dari Makkah ke Madinah kemudian bergabung dengan Rasulullah.
Teriknya sengatan matahari yang membakar kulitnya selama dalam perjalanan sama sekali tidak dihiraukan. Dengan langkah pasti ia melewati padang pasir yang gersang tanpa bekal makanan dan air seteguk pun. Ketika tiba di Ruwaikha’ (suatu tempat antara Badar dan Madinah), ia kehabisan tenaga. Lapar dan haus telah melemahkan tubuhnya, namun tidak mematikan semangat hijrahnya. la pun lalu merebahkan tubuhnya agar keesokan harinya bisa melanjutkan perjalanan ke Madinah.
Sambil berbaring, matanya yang cekung menatap ke atas. Tiba-tiba dilihatnya sebuah tali putih bersih turun dari langit yang menggantung timba penuh air. Diminumnya air itu, dan hilanglah dahaga. Ia merasa kekuatannya pulih kembali. Dengan demikian berarti ia bisa melanjutkan perjalanannya lagi hingga sampai ke Thaibah.
Peristiwa yang sangat luar biasa itu diceritakan kepada setiap orang dengan jujur, dan diakuinya sebagai bukti tanda keagungan Allah. “Aku merasa tiada haus lagi setelah merasakan minuman itu. Aku berpuasa di panas yang terik, namun tiada merasakan haus,” kata Umu Aiman. Itulah pertolongan Allah kepada hamba-Nya yang dengan ikhlas berjuang menegakkan agama-Nya.
Di Madinah, Umu Aiman bergabung dengan Rasulullah dan pasukannya. Ia selalu aktif ikut dalam sejumlah peperangan. Ia terjun ke medan perang untuk memberi minum para prajurit. Ia kirimkan putera tercintanya yang bernama Aiman untuk bertempur di medan laga, hingga kemudian gugur sebagai syuhada dalam perang Hunain. Zaid bin Haritsah suaminya pun juga mati syahid dalam perang Mu’tah. Namun demikian, Umu Aiman tetap tabah dan tawakal dalam menerima realita hidup.
Tangis Umu Aiman
Ketika Rasulullah wafat, Umu Aiman selalu menangis setiap kali mengingatnya. Abu Bakar dan Umar bin Khathab adalah orang yang selalu bertandang dan menjengunya. Setiap kali mereka datang, senantiasa mendapatkan Umu Aiman sedang menangis. “Mengapa engkau menangisinya, sedang kedudukan di sisi Allah lebih baik bagi Rasulullah?”, tanya Abu Bakar. Jawab Umu Aiman, “Aku tahu Rasulullah akan mati dan ia akan mendapatkan kebahagiaan di sisi Allah. Aku menangis bukan karena kematian beliau. Tapi karena wahyu telah terputus.” Dan ketika Umar bin Khathab meninggal terbunuh, ia pun menangis seraya berkata, “Sekarang Islam menjadi lemah.” Ia tidak rela melihat kelemahan umat Islam sepeninggal Umar.
Ketika anak dan suaminya gugur di medan laga, ia sama sekali tidak menangis. Sebab ia tahu, bahwa anak dan suaminya mati syahid dan sorga sebagai tempat kembali yang paling mulia. Ketika Rasulullah wafat, ia malah menangis karena wahyu terputus. Dan ketika Umar bin Khathab terbunuh dengan mengenaskan, ia menangis karena melihat kelemahan umat Islam. Adakah kini seorang wanita yang berjiwa besar seperti Umu Aiman?
Antara Umu Aiman dan Rasulullah terjalin rasa keakraban yang mendalam sejak Muhammad menjadi asuhannya. Suatu ketika Rasulullah pernah bersabda, “Inilah sisa keluargaku.” Karena dianggap sebagai ibunya sendiri, Muhammad selalu memperhatikan keperluan Umu Aiman, dan selalu menjenguk keadannya.
Rasulullah pada suatu hari pernah bercanda dengan Umu Aiman. Beliau mengatakan, “Tutuplah cadarmu, ya Uma Aiman.” Dan pernah pula pada suatu hari Umu Aiman berkata kepada Rasulullah, “Bawalah aku, ya Muhammad.” Rasulullah pun lalu bersabda, “Aku akan membawamu di atas anak unta.” Kemudian Umu Aiman menimpali, “Anak unta itu tidak akan mampu mengangkatku dan aku tidak mau.” Jawab Rasulullah, “Aku tetap akan membawamu di atas anak unta.”
Itulah sekelumit ilustrasi gurauan Rasulullah kepada ibunya. Gurauan Rasulullah memang benar. Sebab pada hakikatnya semua unta berasal dari anak unta. Melihat keakraban ini, Para sahabat sangat memahami kedudukan Umu Aiman dan putera-puteranya di sisi Rasulullah: Dan memahami pula kecintaan beliau terhadap mereka. Para sahabat pun kemudian ikut melakukan seperti apa yang di¬lakukan Rasulullah kepada Umu Aiman.
Di zaman pemerintahan khalifah Umar bin Abdul Azis pernah terjadi suatu peristiwa yang menakjubkan. Ibnu Furat memusuhi Al-Hasan bin Usamah bin Zaid bin Haritsah. Ia berkata, “Hai putera Barakah.” Menerima hinaan dan olokan itu Al-Hasan mengadu kepada Abu Bakar ibnu Hazm, seorang Qadhi (hakim) di Madinah. Lalu Abu Bakar menegur Ibnu Furat, “Apa maksudmu dengan perkataan putera Barakah?”
Ibnu Furat menjawab, “Aku memanggil dia sesuai dengan nama panggilannya.” Abu Bakar ibnu Hazm lalu berkata, “Dengan begitu berarti engkau akan merendahkan dan menghinanya. Padahal keadaan dirinya cukup terkenal di dalam Islam. Rasulullah selalu menyebutnya dengan panggilan: Wahai ibu, wahai Umu Aiman. Sudah barang tentu Allah tidak akan memaafkan diriku bila aku memaafkan perbuatanmu. Aku harus menindakmu secara tegas.”
Atas peristiwa tersebut, maka Abu Bakar memerintahkan agar Ibnu Furat dijatuhi hukuman sesuai dengan kesalahannya. Memang, Umu Aiman pada kenyataannya bekas seorang sahaya. Tapi, kedudukannya di dalam Islam sangat mulia, setara dengan ibu Rasulullah. Dan beliau memang sudah mengakuinya sebagai ibu. Karenanya, hingga sampai anak cucunya pun masih harus dihormati. Kehormatan di¬berikan kepada anak cucu bukan saja karena perjuangan Umu Aiman, tapi karena memang akhlak mereka dapat dibanggakan dan diteladani.


Kisah Sa'ad bin Rabi

Dia adalah Ibnu Amir Al Anshari Al Khazraji Al Haritsi Al Badri An-Naqib As-Syahid, yang dipersaudarakan oleh Nabi Muhamad SAW dengan Abdurrahman bin Auf. Oleh karena itu, Sa’ad ingin memberikan separuh hartanya kepada Abdurrahman bin Auf dan menceraikan salah satu istrinya agar Abdurrahman berkenan menikahinya. Tetapi Abdurrahman bin Auf menolak tawaran tersebut dan mendoakan Sa’ad agar memperoleh kebaikan. 
Dia juga termasuk salah seorang pemimpin pada malam Lailatul Aqabah.
Diriwayatkan dari Muhamad bin Abdurrahman bin Sha’shabah, dia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Siapa yang bisa memberitahuku tentang perbuatan Sa’ad bin Rabi’?” Seorang sahabat Anshar kemudian menjawab, “Aku.” Dia lalu keluar dan mengelilingi para korban hingga menemukan Sa’ad dalam keadaan terluka, menahan sakit, dan berada dalam sisa-sisa hidupnya. Sahabat itu berkata, “Wahai Sa’ad, sesungguhnnya Rasulullah SAW memerintahkanku untuk melihat apakah kamu masih hidup atau sudah mati.” Sa’ad berkata, “Aku sudah mati. Sampaikan salamku kepada Rasulullah SAW dan katakanlah bahwa Sa’ad berdoa semoga Allah membalas kebaikanmu (Nabi) dariku seperti Allah membalas kebaikan Nabi dari umatnya. Sampaikan juga salamku kepada kaummu dan katakan kepada mereka bahwa Sa’ad berkata kepada mereka, ‘Tak ada kesulitan bagimu di sisi Allah jika kamu ikhlas kepada Nabimu, walaupun hanya berupa kedipan mata’.”
Diriwayatkan dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: Istri dan kedua putri Sa’ad bin Rabi’ datang kepada Rasulullah seraya berkata, “Wahai Rasulullah, ini adalah kedua putri Sa’ad dan ayah mereka terbunuh dalam perang Uhud. Sementara paman mereka telah mengambil harta mereka dan dia tidak menyisakan harta sedikit pun untuk keduanya, padahal mereka berdua tidak bisa menikah kecuali mempunyai harta.” Mendengar itu Nabi SAW bersabda, “Allah pasti akan menyelesaikan masalah ini.” Lalu turunlah ayat tentang warisan. Setelah itu paman mereka dipanggil oleh Rasulullah SAW, dan beliau bersabda kepadanya, “Berikanlah kepada kedua putri Sa’ad 2/3 harta dan berilah ibu mereka 1/8 harta, sedangkan sisanya untukmu.”

Rabu, 29 Agustus 2012

Amr bin Ash, Sang Pembebas Mesir


Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Ash, Sang Pembebas Mesir

Rabu, 06 Juli 2011, 13:56 WIB
Wordpress.com
Kisah Sahabat Nabi: Amr bin Ash, Sang Pembebas Mesir
Ilustrasi
REPUBLIKA.CO.ID, Ada tiga orang pemuka Quraisy yang sangat menyusahkan Rasulullah SAW disebabkan sengitnya perlawanan mereka terhadap dawah beliau dan siksaan mereka terhadap sahabatnya.

Oleh sebab itu, Rasulullah SAW selalu berdoa dan memohon kepada Allah agar menurunkan azabnya pada mereka. Tiba-tiba, tatkala beliau berdoa dan memohon, turunlah firman Allah: "Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka karena sesungguhnya mereka itu orang-orang yang zalim." (QS Ali Imran: 128)

Rasulullah SAW memahami bahwa maksud ayat itu ialah menyuruhnya agar menghentikan doa permohonan azab dan menyerahkan urusan mereka kepada Allah semata. Kemungkinan, mereka tetap berada dalam keaniayaan hingga akan menerima azab-Nya. Atau mereka bertaubat dan Allah menerima taubat mereka hingga akan memperoleh rahmat karunia-Nya.

Amr bin Ash adalah salah satu dari ketiga orang tersebut. Allah memilihkan bagi mereka jalan untuk bertaubat dan menerima rahmat, maka ditunjuki-Nya mereka jalan untuk menganut Islam. Dan Amr bin Ash pun beralih rupa menjadi seorang Muslim pejuang, dan salah seorang panglima yang gagah berani.

Para ahli sejarah biasa menggelari Amr bin Ash sebagai “Penakluk Mesir”. Namun gelar ini tidaklah tepat, yang paling tepat untuk Amr adalah “Pembebas Mesir”. Islam membuka negeri itu bukanlah menurut pengertian yang lazim digunakan di masa modern ini, tetapi maksudnya ialah membebaskannya dari cengkraman dua kerajaan besar yang menjajah negeri ini serta rakyatnya dari perbudakan dan penindasan yang dahsyat, yaitu imperium Persi dan Romawi.

Mesir sendiri, ketika pasukan perintis tentara Islam memasuki wilayahnya, merupakan jajahan dari Romawi, sementara perjuangan penduduk untuk menentangnya tidak membuahkan hasil apa-apa. Maka tatkala dari tapal batas kerajaan-kerajaan itu bergema suara takbir dari pasukan-pasukan yang beriman: “Allahu Akbar, Allahu Akbar“, mereka pun dengan berduyun-duyun segera menuju fajar yang baru terbit itu lalu memeluk Agama Islam yang dengannya mereka menemukan kebebasan mereka dari kekuasaan kisra maupun kaisar.

Jika demikian halnya, Amr bin Ash bersama anak buahnya tidaklah menaklukkan Mesir. Mereka hanyalah merintis serta membuka jalan bagi Mesir agar dapat mencapai tujuannya dengan kebenaran dan mengikat norma dan peraturan-peraturannya dengan keadilan, serta menempatkan diri dan hakikatnya dalam cahaya kalimat-kalimat Ilahi dan dalam prinsip-prinsip Islami.

Amr bin Ash tidaklah termasuk angkatan pertama yang masuk Islam. Ia baru masuk Islam bersama Khalid bin Walid tidak lama sebelum dibebaskannya kota Makkah.

Anehnya keislamannya itu diawali dengan bimbingan Negus raja Habsyi. Sebabnya ialah karena Negus ini kenal dan menaruh rasa hormat terhadap Amr yang sering bolak-balik ke Habsyi dan mempersembahkan barang-barang berharga sebagai hadiah bagi raja. Di waktu kunjungannya yang terakhir ke negeri itu, tersebutlah berita munculnya Rasul yang menyebarkan tauhid dan akhlak mulia di tanah Arab.

Raja Habsyi itu menanyakan kepada Amr kenapa ia tak hendak beriman dan mengikutinya, padahal orang itu benar-benar utusan Allah?

“Benarkah begitu?” tanya Amr kepada Negus.

“Benar,” jawab Negus. “Turutilah petunjukku, hai Amr dan ikutilah dia! Sungguh dan demi Allah, ia adalah di atas kebenaran dan akan mengalahkan orang-orang yang menentangnya.”

Secepatnya Amr ia mengarungi lautan kembali ke kampung halamannya, lalu mengarahkan langkahnya menuju Madinah untuk menyerahkan diri kepada Allah. Dalam perjalanan ke Madinah itu ia bertemu dengan Khalid bin Walid dan Utsman bin Thalhah, yang juga datang dari Makkah dengan maksud hendak baiat kepada Rasulullah SAW.

Ketika Rasulullah melihat ketiga orang itu datang, wajahnya pun berseri-seri, lalu berkata kepada para sahabat, “Makkah telah melepas jantung-jantung hatinya kepada kita.”

Mula-mula tampil Khalid dan mengangkat baiaat. Kemudian majulah Amr dan berkata, “Wahai Rasulullah, aku akan baiat kepada anda, asal saja Allah mengampuni dosa-dosaku yang terdahulu.”

Maka Rasulullah menjawab, “Hai Amr, berbaiatlah, karena Islam menghapus dosa-dosa yang sebelumnya.”

Tatkala Rasulullah SAW wafat, Amr bin Ash sedang berada di Oman menjadi gubernurnya. Dan di masa pemerintahan Umar bin Al-Khathab, jasa-jasanya dapat disaksikan dalam peperangan-peperangan di Suriah, kemudian dalam membebaskan Mesir dari penjajahan Romawi.

Amr tidak hanya seorang panglima perang tangguh sebagaimana Ali bin Abi Thalib dan beberapa sahabat lain. Ia tidak hanya seorang diplomat ulung sebagaimana Muawiyah. Tapi juga seorang negarawan yang pintar memerintah. Bahkan bentuk tubuh, cara berjalan dan bercakapnya, memberi isyarat bahwa ia diciptakan untuk menjadi amir atau penguasa. Hingga pernah diriwayatkan bahwa pada suatu hari Amirul Mukminin Umar bin Al-Khathab melihatnya datang. Ia tersenyum melihat caranya berjalan itu, lalu berkata, “Tidak pantas bagi Abu Abdillah untuk berjalan di muka bumi kecuali sebagai amir.”

Tetapi di samping itu ia juga memiliki sifat amanat, menyebabkan Umar bin Al-Khathab—seorang yang terkenal amat teliti dalam memilih gubernur-gubernurnya—menetapkannya sebagai gubernur di Palestina dan Yordania, kemudian di Mesir selama hayatnya Al-Faruq.

Amr bin Ash adalah seorang yang berpikiran tajam, cepat tanggap dan berpandangan jauh ke depan. Di samping itu ia juga seorang yang amat berani dan berkemauan keras dan cerdik.

Pada tahun ke-43 Hijriyah, Amr bin Ash wafat di Mesir ketika menjadi gubernur di sana. Di saat-saat kepergiannya itu, ia mengemukakan riwayat hidupnya. “Pada mulanya aku ini seorang kafir, dan orang yang amat keras sekali terhadap Rasulullah SAW hingga seandainya aku meninggal pada saat itu, pastilah masuk neraka. Kemudian aku membaiat kepada Rasulullah SAW, maka tak seorang pun di antara manusia yang lebih kucintai, dan lebih mulia dalam pandangan mataku, daripada beliau. Dan seandainya aku diminta untuk melukiskannya, maka aku tidak sanggup karena disebabkan hormatku kepadanya, aku tak kuasa menatapnya sepenuh mataku. Maka seandainya aku meninggal pada saat itu, besar harapan akan menjadi penduduk surga. Kemudian setelah itu, aku diberi ujian dengan beroleh kekuasaan begitu pun dengan hal-hal lain. Aku tidak tahu, apakah ujian itu akan membawa keuntungan bagi diriku ataukah kerugian.”

Lalu diangkatnya kepalanya ke arah langit dengan hati yang tunduk, sambil bermunajat kepada Tuhannya Yang Maha Besar lagi Maha Pengasih, seraya berdoa, “Ya Allah, daku ini orang yang tak luput dari kesalahan, maka mohon dimaafkan. Daku tak sunyi dari kelemahan, maka mohon diberi pertolongan. Sekiranya daku tidak beroleh rahmat karunia-Mu, pasti celakalah nasibku.”

Khalifah ‘Umar Bin Al-Khaththab [Bag.01]

Beliau adalah Umar bin al-Khaththab bin Nufail bin Adi bin Abdul Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurth bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ai, Abu Hafs al-’Adawi. Julukan beliau adalah al-Faruq. Ada yang menyebutkan bahwa gelar itu berasal dari Ahli Kitab.1
Adapun ibunya bernama Hantamah binti Hisyam bin al-Mughirah, kakak dari Abu Jahal bin Hisyam.2
Ciri-Ciri & Sifatnya
Beliau adalah seorang lelaki yang tinggi, kepala bagian depannya botak, selalu bekerja dengan dua tangannya, kedua matanya hitam, berkulit kuning3, ada yang mengatakan berkulit putih hingga menjadi kemerah-merahan. Giginya putih bersih mengkilat, selalu mewarnai janggutnya dan merapikan rambutnya dengan menggunakan inai (daun pacar).4
Beliau adalah orang yang sangat tawadhu’ kepada Allah. Kehidupan dan makanannya sangat sederhana. Beliau terkenal sangat tegas dalam urusan agama Allah, selalu menambal bajunya dengan kulit, membawa ember di atas kedua pundaknya, dengan wibawanya yang sangat besar, selalu mengendarai keledai tanpa pelana, jarang tertawa dan tidak pernah bergurau dengan siapapun. Cincinnya bertuliskan sebuah kata-kata “Cukuplah kematian menjadi peringatan bagimu hai Umar.”
Istri & Anak-Anak Beliau
Al-Waqidi, al-Kalbi dan lainnya pernah berkata, “Pada masa jahiliyyah Umar pernah menikahi Zainab binti Mazh’un saudara wanita dari Utsman bin Mazh’un, dari perkawinan tersebut lahirlah Abdullah, Abdurrahman yang sulung, serta Hafshah.
Beliau juga pernah menikahi Mulaikah binti Jarwal, dari hasil perkawinan tersebut lahirlah Ubaidullah. Setelah itu beliau menceraikannya ketika terjadi hudnah (perdamaian). Setelah dicerai wanita tersebut dinikahi oleh Abu Jahm bin Hudzaifah, sebagaimana yang dikatakan oleh al-Madaini.
Al-Waqidi berkata, “Wanita ini bernama Ummu Kaltsum binti Jarwal, dari hasil pernikahan ini lahirlah Ubaidullah dan Zaid yang bungsu.”5
Al-Madaini berkata, “Umar pernah menikahi Quraibah binti Abi Umayyah al-Makhzumi, sewaktu terjadi hudnah (perdamaian) Umar menceraikannya, setelah itu wanita ini dinikahi oleh Abdurrahman bin Abu Bakar.
Mereka berkata, “Umar juga menikahi Ummu Hakim binti al-Harits bin Hisyam setelah suaminya -yakni Ikrimah bin Abu Jahal- terbunuh dalam peperangan di negeri Syam.6 Dari hasil pernikahan ini lahirlah Fathimah. Kemudian Umar menceraikannya.” Al-Madaini berkata, “Umar tidak menceraikannya.
Mereka berkata, “Umar pernah pula menikahi Jamilah binti7 Ashim bin Tsabit bin Abi al-Aqlah dari suku Aus.”
Umar juga menikahi Atikah binti Zaid bin Amr bin Nufail, yang sebelumnya adalah istri Abdullah bin Abu Bakar.8 Setelah Umar terbunuh, wanita ini dinikahi oleh az-Zubair bin al-Awwam ??? ???? ???. Disebutkan bahwa wanita ini adalah ibu dari anaknya yang bernama Iyadh, wallahu a ‘lam.
Al-Madaini berkata, “Umar pernah meminang Ummu Kaltsum, puteri Abu Bakar as-Shiddiq -ketika itu masih gadis kecil- dalam hal ini Umar mengirim surat kepada ‘Aisyah, namun Ummu Kaltsum berkata, “Aku tidak mau menikah dengannya!” ‘Aisyah berkata padanya, “Apakah engkau menolak Amirul Mukminin?” Ummu Kaltsum menjawab, “Ya, sebab hidupnya miskin.” Akhirnya ‘Aisyah mengirim surat kepada Amru bin al-Ash, dan Amru berusaha memalingkan keinginan Umar untuk menikahi puteri Abu Bakar dan menyarankan kepadanya agar menikahi Ummu Kaltsum puteri Ali bin Abi Thalib ??? ???? ??? dari hasil pernikahannya dengan Fathimah ??? ???? ????. Amru berkata padanya, “Nikahilah puteri Ali dan hubungkan kekerabatanmu dengan kerabat Rasulullah ??? ???? ???? ????.” Akhirnya Umar meminang Ummu Kaltsum kepada Ali dan memberikannya mahar sebanyak empat puluh ribu. Dan dari hasil pernikahan ini lahirlah Zaid dan Ruqayyah.
Mereka berkata, “Umar juga menikahi Luhyah -seorang wanita Yaman- dari hasil pernikahan itu lahirlah Abdurrahman yang bungsu, ada yang menyebutkan Abdurrahman yang tengah. Al-Waqidi berkata, “Wanita ini adalah Ummu al-Walad (budak wanita) dan bukan sebagai istri.9 Ada yang menyebutkan bahwa Umar juga memiliki Fukaihah sebagai Ummu Walad yang melahirkan anaknya bernama Zainab. Al-Waqidi berkata, “Zainab adalah anak Umar yang paling kecil.”
Ibnu Katsir berkata, “Jumlah seluruh anak Umar adalah tiga belas orang, yaitu, Zaid yang sulung, Zaid yang bungsu, Ashim, Abdullah, Abdurrahman yang sulung, Abdurrahman yang pertengahan, az-zubair bin Bakkar -yaitu Abu Syahmah10, Abdurraman yang bungsu, Ubaidullah, Iyadh, Hafsah, Ruqayyah, Zainab, Fathimah ??? ???? ????. Jumlah seluruh istri Umar yang pernah dinikahi pada masa jahiliyyah dan Islam baik yang diceraikan ataupun yang ditinggal wafat sebanyak tujuh orang.
Keislamannya
Umar masuk Islam ketika berusia dua puluh tujuh tahun, beliau mengikuti perang Badar dan seluruh peperangan yang terjadi setelahnya bersama Rasulullah ??? ???? ???? ????. Beliau juga pernah diutus untuk berangkat bersama sebahagian tentara untuk memata-matai dan mencari informasi tentang musuh, terkadang menjadi pemimpin dalam tugas ini.11
Beliaulah yang pertama kali digelari Amirul Mukminin. Beliaulah yang pertama kali membuat penanggalan hijriyah, mengumpulkan manusia untuk Shalat Tarawih berjama’ah, orang yang pertama kali berkeliling di malam hari mengontrol rakyatnya di Madinah, yang pertama kali membawa tongkat pemukul untuk memberi pelajaran dan menghukum yang salah, yang pertama kali mendera peminum khamr 80 kali cambukan, khalifah yang melakukan banyak penaklukan,12 yang pertama kali membuat kota-kota, membentuk tentara resmi, membuat undang-undang perpajakan, membuat sekretariat, menentukan gaji tetap, menempatkan para qadhi, membagi-bagi wilayah yang ditaklukkan seperti as-Sawad, Ahwaaz, wilayah pegunungan, wilayah Persia dan lain sebagainya.
Beliau berhasil menaklukan banyak wilayah di negeri Syam, diantaranya, Damaskus, Yordania, Baisan, Thabariyah, al-Jabiyah, Ramalah, Asgalan, Gazza, daerah sawahil (pesisir), al-Quds, Ba’labak, Homs, Qinsir, Halab, dan Anthakiyah.
Dia juga menaklukkan Mesir, Iskandariyah (Alexandria), Tripoli Barat, dan Burqah.
Adapun daerah Jazirah Eufrat yang ditaklukkannya adalah, Harran, ar-Rahaa dan ar-Raqqah, Nasibain, Ra’sul ‘Ain, Syimsyath, ‘Ain Wardah, Perkampungan Bakr, Rabi’ah, negeri Mosul dan wilayah-wilayah sekitarnya
Wilayah Irak dan wilayah timur yang ditaklukkannya, Qadisiyyah, Sungai Sair, Sabath, Madain, Nahawand, Hamazan, Ar-Rai, Qumis, Khurasan, Istakhar, Ashbahan, as-Sus, Marwa, Naisaburi, Jurjaan, Adzarbaijan dan lain-lain. Para tentaranya telah pula menyeberangi sungai Jaihun berulang kali.
Bersambung…
Fote Note:
1 Hal ini telah  disebutkan oleh ath-Thabari, 4/195 dari jalan Ibnu Sa’ad dengan sanad yang shahih bersumber dari az-Zuhri, dengan lafazh  ‘Telah sampai kabar kepadaku…’, lihat pula ath-Thabaqat al-Kubra 3/270 di sini dia sebutkan dengan sanad dari jalan al-Waqidi dari ‘Aisyah ??? ???? ???? bahwa Nabi ??? ???? ???? ???? yang telah memberi gelar al-Faruq kepada Umar, dan al-Waqidi sendiri dinilai matruk (ditinggalkan beritanya, pent,) oleh kalangan al-Muhadditsin. Ibnu Sa’ad mengeluarkan dengan jalan yang mursal bahwa Rasulullah ??? ???? ???? ???? bersabda, “Sesungguhnya Allah menjadikan kebenaran di atas lidah Umar dan di atas hatinya, dialah al-Faruq.” Ath-Thabaqat al-Kubra 3/ 270, lihat juga Fathul Bari7/44.
2 Inilah yang disebutkan oleh beliau -semoga Allah merahmatinya- adapun yang disebutkan oleh para ulama nasab dan para penulis tarajum (biografi) ibu  Umar adalah Hantamah binti Hasyim bin al-Mughirah, saudara dari Hisyam bin al-Mughirah, dengan itu Abu Jahal adalah anak pamannya, lihat Nasab Quraisy karya az-Zubairi 103, 347, dan Thabaqat Ibnu Sa’ad 3/265, dan jamharatu Ansab al-Arab karya Ibnu  Hazm hlm. 44,  al-Isti’ab karya Ibnu Abdil Bar hlm. 1144, dia memperingatkan kekeliruan yang tersebar bahwa Ibu Umar adalah binti Hisyam.
3 Ibnu Sa’ad   dalam kitab ath-Thabaqatnya menukil dari al-Waqidi 3/324 bahwa dia pernah berkata, tidak pernah kami ketahui bahwa Umar berkulit kuning -kecuali jika orang yang memberikan kriteria Umar- melihatnya pada masa peceklik, pada masa itu  warna Umar berubah disebabkan hanya memakan minyak selalu. Ibnu Abdil Bar telah membantah perkataan al-Waqidi , dia berkata, “Ini adalah perkataan yang harus di ingkari.” (al-Isti’ab 1146).
4 Lihat Thabaqat Sa’ad 3/324, dan   Tarikh ath-Thabari 4/196. Kata A’sara Yusran yaitu orang yang bekerja dengan dua tangannya sebagaimana terdapat dalam Lisan al-Arab 4/196, dan kata Asynabul Asnan artinya yaitu giginya sangat putih mengkilat, ibid, 1/507.
5 Lihat Nasab Quraísy hlm. 349
6 Lihat Ibn Hajar, al-Ishabah 8/193.
7 Dalam Tarikh ath-Thabari 4/199, Kakak Ashim dan itulah yang benar, lihat pula Nasab Quraísy karya az-Zubairi hlm. 349. dia berkata, “Dari hasil pernikahan dengannya Umar mendapatkan anak bernama Ashim.” Lihat Thabaqat Ibn Sa’ad 3/265.
8 Dalam teks aslinya tertulis Ibn Abi Mulaikah, dan perbaikan ini dari Tarikh ath-Thabari 4/199, dan lihat mengenai pernikahan Umar pada Kejadian tahun 12 H di dalam al-Bidayah wan-Nihayah, 6/352.
9 Sebagaimana yang dikatakan oleh az-Zubairi dalam Nasab Quraisy hlm. 349.
10 Lihat Nasab Quraäy hi m. 349.
11 Pernah menjadi pemimpin atas pasukan Turbah yang diutus ke Ajz Hawazin, (Sirah ibn Hisyam 4/341).
12 Pada masanya banyak sekali terjadi penaklukan-penaklukan.
================================
Sumber: Disalin dari (via Maktabah Abi Humaid):
Judul Asli: Tartib wa Tahdzib Kitab al-Bidayah wan Nihayah
Penulis: al-Imam al-Hafizh Ibnu Katsir
Pennyusun: Dr.Muhammad bin Shamil as-Sulami
Penerbit: Dar al-Wathan, Riyadh KSA. Cet.I (1422 H./2002 M)
Edisi Indonesia: Al-Bidayah wan-Nihayah Masa Khulafa’ur Rasyidin
Penerjemah: Abu Ihsan al-Atsari
Muraja’ah: Ahmad Amin Sjihab, Lc
Penerbit: Darul Haq, Cetakan I (Pertama) Dzulhijjah 1424 H/ Pebruari 2004 M

Selasa, 28 Agustus 2012

Abu Ubaidah bin al-Jarrah


Beliau termasuk orang yang pertama masuk Islam. Kualitasnya dapat kita ketahui melalui sabda Nabi SAW: “Sesungguhnya setiap umat mempunyai orang kepercayaan, dan kepercayaan umat ini adalah Abu Ubaidah bin al-Jarrah.”
Abu Ubaidah bin al-Jarrah ra lahir di Mekah, di sebuah rumah keluarga suku Quraisy terhormat. Nama lengkapnya adalah Amir bin Abdullah bin Jarrah yang dijuluki dengan nama Abu Ubaidah. Abu Ubaidah adalah seorang yang berperawakan tinggi, kurus, berwibawa, bermuka ceria, rendah diri dan sangat pemalu. Beliau termasuk orang yang berani ketika dalam kesulitan, beliau disenangi oleh semua orang yang melihatnya, siapa yang mengikutinya akan merasa tenang.
Abu Ubaidah termasuk orang yang masuk Islam dari sejak awal, beliau memeluk Islam selang sehari setelah Saidina Abu Bakar as-Shiddiq ra memeluk Islam. Beliau masuk Islam bersama Abdurrahman bin �Auf, Uthman bin Mazun dan Arqam bin Abu al-Arqam, di tangan Abu Bakar as-Shiddiq. Saidina Abu Bakarlah yang membawakan mereka menemui Rasulullah SAW untuk menyatakan syahadat di hadapan Baginda.
Kehidupan beliau tidak jauh berbeza dengan kebanyakan sahabat lainnya, diisi dengan pengorbanan dan perjuangan menegakkan Deen Islam. Hal itu tampak ketika beliau harus hijrah ke Ethiopia pada gelombang kedua demi menyelamatkan aqidahnya. Namun kemudian beliau balik kembali untuk menyertai perjuangan Rasulullah SAW.
Abu Ubaidah sempat mengikuti semua peperangan bersama Rasulullah SAW. Beliaulah yang membunuh ayahnya yang berada di pasukan musyrikin dalam perang Uhud, sehingga ayat Al-Quran turun mengenai beliau seperti yang tertera dalam surah Al Mujadilah ayat 22, artinya:
�Engkau tidak menemukan kaum yang beriman kepada Allah dan hari kiamat yang mengasihi orang-orang yang menentang Allah SWT dan Rasulullah, walaupun orang tersebut ayah kandung, anak, saudara atau keluarganya sendiri. Allah telah mematri keimanan di dalam hati mereka dan mereka dibekali pula dengan semangat. Allah akan memasukkan mereka ke dalam syurga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, mereka akan kekal di dalamnya. Akan menyenangi mereka, di pihak lain mereka pun senang dengan Allah. Mereka itulah perajurit Allah, ketahuilah bahwa perajurit Allah pasti akan berjaya.�
Masih dalam perang Uhud, ketika pasukan muslimin kucar kacir dan banyak yang lari meninggalkan pertempuran, justeru Abu Ubaidah berlari untuk mendapati Nabinya tanpa takut sedikit pun terhadap banyaknya lawan dan rintangan. Demi didapati pipi Nabi terluka, iaitu terhujamnya dua rantai besi penutup kepala beliau, segera ia berusaha untuk mencabut rantai tersebut dari pipi Nabi SAW.
Abu Ubaidah mulai mencabut rantai tersebut dengan gigitan giginya. Rantai itu pun akhirnya terlepas dari pipi Rasulullah SAW. Namun bersamaan dengan itu pula gigi seri Abu Ubaidah ikut terlepas dari tempatnya. Abu Ubaidah tidak jera. Diulanginya sekali lagi untuk mengigit rantai besi satunya yang masih menancap dipipi Rasulullah SAW hingga terlepas. Dan kali ini pun harus juga diikuti dengan lepasnya gigi Abu Ubaidah sehingga dua gigi seri sahabat ini ompong karenanya. Sungguh, satu keberanian dan pengorbanan yang tak terperikan.
Rasulullah SAW memberinya gelaran “Gagah dan Jujur”. Suatu ketika datang sebuah delegasi dari kaum Kristen menemui Rasulullah SAW. Mereka mengatakan, “Ya Abul Qassim! Kirimkanlah bersama kami seorang sahabatmu yang engkau percayai untuk menyelesaikan perkara kebendaan yang sedang kami pertengkarkan, karena kaum muslimin di pandangan kami adalah orang yang disenangi.” Rasulullah SAW bersabda kepada mereka, “Datanglah ke sini nanti sore, saya akan kirimkan bersama kamu seorang yang gagah dan jujur.”
Dalam kaitan ini, Saidina Umar bin Al-Khattab ra mengatakan, “Saya berangkat mahu shalat Zuhur agak cepat, sama sekali bukan karena ingin ditunjuk sebagai delegasi, tetapi karena memang saya senang pergi shalat cepat-cepat. Setelah Rasulullah selesai mengimami salat Zuhur bersama kami, beliau melihat ke kiri dan ke kanan. Saya sengaja meninggikan kepala saya agar beliau melihat saya, namun beliau masih terus membalik-balik pandangannya kepada kami. Akhirnya beliau melihat Abu Ubaidah bin Jarrah, lalu beliau memanggilnya sambil bersabda, ‘Pergilah bersama mereka, selesaikanlah kasus yang menjadi perselisihan di antara mereka dengan adil.’ Lalu Abu Ubaidah pun berangkat bersama mereka.”
Sepeninggalan Rasulullah SAW, Umar bin Al-Khattab ra mengatakan kepada Abu Ubaidah bin al-Jarrah di hari Saqifah, “Hulurkan tanganmu! Agar saya baiat kamu, karena saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sungguh dalam setiap kaum terdapat orang yang jujur. Orang yang jujur di kalangan umatku adalah Abu Ubaidah.’ Lalu Abu Ubaidah menjawab, �Saya tidak mungkin berani mendahului orang yang dipercayai oleh Rasulullah SAW menjadi imam kita di waktu shalat (Saidina Abu Bakar as-Shiddiq ra), oleh sebab itu kita sayugia membuatnya jadi imam sepeninggalan Rasulullah SAW.�
Sisi lain dari kehebatan sahabat yang satu ini adalah kezuhudannya. Ketika kekuasaan Islam telah meluas dan kekhalifahan dipimpin oleh Saidina Umar ra, Abu Ubaidah menjadi pemimpin di daerah Syria. Saat Umar mengadakan kunjungan dan singgah di rumahnya, tak terlihat sesuatu pun oleh Umar ra kecuali pedang, perisai dan pelana tunggangannya. Umar pun lantas berujar, “Wahai sahabatku, mengapa engkau tidak mengambil sesuatu sebagaimana orang lain mengambilnya?”
Beliau menjawab, “Wahai Amirul Mukminin, ini saja sudah cukup menyenangkan.”
Abu Ubaidah bin al-Jarrah ra ikut serta dalam semua peperangan Islam, bahkan selalu mempunyai andil besar dalam setiap peperangan tersebut. Beliau berangkat membawa pasukan menuju negeri Syam, dengan izin Allah beliau berhasil menaklukan semua negeri tersebut.
Ketika wabak penyakit Taun bermaharajalela di negari Syam, Khalifah Umar bin Al-Khattab ra mengirim surat untuk memanggil kembali Abu Ubaidah. Namun Abu Ubaidah menyatakan keberatannya sesuai dengan isi surat yang dikirimkannya kepada khalifah yang berbunyi,
“Hai Amirul Mukminin! Sebenarnya saya tahu, kalau kamu memerlukan saya, akan tetapi seperti kamu ketahui saya sedang berada di tengah-tengah tentera Muslimin. Saya tidak ingin menyelamatkan diri sendiri dari musibah yang menimpa mereka dan saya tidak ingin berpisah dari mereka sampai Allah sendiri menetapkan keputusannya terhadap saya dan mereka. Oleh sebab itu, sesampainya surat saya ini, tolonglah saya dibebaskan dari rencana baginda dan izinkanlah saya tinggal di sini.”
Setelah Umar ra membaca surat itu, beliau menangis, sehingga para hadirin bertanya, “Apakah Abu Ubaidah sudah meninggal?” Umar menjawabnya, “Belum, akan tetapi kematiannya sudah di ambang pintu.”
Sepeninggalan Abu Ubaidah ra, Saidina Muaz bin Jabal ra berpidato di hadapan kaum Muslimin yang berbunyi, “Hai sekalian kaum Muslimin! Kalian sudah dikejutkan dengan berita kematian seorang pahlawan, yang demi Allah saya tidak menemukan ada orang yang lebih baik hatinya, lebih jauh pandangannya, lebih suka terhadap hari kemudian dan sangat senang memberi nasihat kepada semua orang dari beliau. Oleh sebab itu kasihanilah beliau, semoga kamu akan dikasihani Allah.”
Menjelang kematian Abu Ubaidah ra, beliau memesankan kepada tenteranya, “Saya pesankan kepada kalian sebuah pesan. Jika kalian terima, kalian akan baik, ‘Dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat, puasalah di bulan Ramadhan, berdermalah, tunaikanlah ibadah haji dan umrah, saling nasihat menasihatilah kalian, sampaikanlah nasihat kepada pimpinan kalian, jangan suka menipunya, janganlah kalian terpesona dengan keduniaan, karena betapa pun seorang melakukan seribu upaya, beliau pasti akan menemukan kematiannya seperti saya ini. Sungguh Allah telah menetapkan kematian untuk setiap pribadi manusia, oleh sebab itu semua mereka pasti akan mati. Orang yang paling beruntung adalah orang yang paling taat kepada Allah dan paling banyak bekalnya untuk akhirat. Assalamu�alaikum warahmatullah.”
Kemudian beliau melihat kepada Muaz bin Jabal ra dan mengatakan, “Ya Muaz! Imamilah shalat mereka.” Setelah itu, Abu Ubaidah ra pun menghembuskan nafasnya yang terakhir.
Allahu a’lam bisshawab.

Umar bin Abdul-Aziz


Umar bin Abdul-Aziz (bahasa Arabعمر بن عبد العزيز, bergelar Umar II, lahir pada tahun 63 H / 682 – Februari 720; umur 37–38 tahun)[1] adalahkhalifah Bani Umayyah yang berkuasa dari tahun 717 (umur 34–35 tahun) sampai 720 (selama 2–3 tahun). Tidak seperti khalifah Bani Umayyahsebelumnya, ia bukan merupakan keturunan dari khalifah sebelumnya, tetapi ditunjuk langsung, dimana ia merupakan sepupu dari khalifah 



Keluarga

Ayahnya adalah Abdul-Aziz bin Marwan, gubernur Mesir dan adik dari Khalifah Abdul-Malik. Ibunya adalah Ummu Asim binti Asim. Umar adalah cicit dari Khulafaur Rasyidin kedua Umar bin Khattabdimana umat Muslim menghormatinya sebagai salah seorang Sahabat Nabi yang paling dekat.

[sunting]Silsilah

Umar dilahirkan sekitar tahun 682. Beberapa tradisi menyatakan ia dilahirkan di Madinah, sedangkan lainnya mengklaim ia lahir di Mesir. Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak.

[sunting]Kisah Umar bin Khattab berkaitan dengan kelahiran Umar II

Menurut tradisi Muslim Sunni, silsilah keturunan Umar dengan Umar bin Khattab terkait dengan sebuah peristiwa terkenal yang terjadi pada masa kekuasaan Umar bin Khattab.
"Khalifah Umar sangat terkenal dengan kegiatannya beronda pada malam hari di sekitar daerah kekuasaannya. Pada suatu malam beliau mendengar dialog seorang anak perempuan dan ibunya, seorang penjual susu yang miskin.
Kata ibu “Wahai anakku, segeralah kita tambah air dalam susu ini supaya terlihat banyak sebelum terbit matahari
Anaknya menjawab “Kita tidak boleh berbuat seperti itu ibu, Amirul Mukminin melarang kita berbuat begini
Si ibu masih mendesak “Tidak mengapa, Amirul Mukminin tidak akan tahu”.
Balas si anak “Jika Amirul Mukminin tidak tahu, tapi Tuhan Amirul Mukminin tahu”.
Umar yang mendengar kemudian menangis. Betapa mulianya hati anak gadis itu.
Ketika pulang ke rumah, Umar bin Khattab menyuruh anak lelakinya, Asim menikahi gadis itu.
Kata Umar, "Semoga lahir dari keturunan gadis ini bakal pemimpin Islam yang hebat kelak yang akan memimpin orang-orang Arab dan Ajam”.
Asim yang taat tanpa banyak tanya segera menikahi gadis miskin tersebut. Pernikahan ini melahirkan anak perempuan bernama Laila yang lebih dikenal dengan sebutan Ummu Asim. Ketika dewasa Ummu Asim menikah dengan Abdul-Aziz bin Marwan yang melahirkan Umar bin Abdul-Aziz.

[sunting]Kehidupan awal

[sunting]682 – 715

Umar dibesarkan di Madinah, di bawah bimbingan Ibnu Umar, salah seorang periwayat hadis terbanyak. Ia tinggal di sana sampai kematiannya ayahnya, dimana kemudian ia dipanggil keDamaskus oleh Abdul-Malik dan menikah dengan anak perempuannya Fatimah. Ayah mertuanya kemudian segera meninggal dan ia diangkat pada tahun 706 sebagai gubernur Madinah oleh khalifah Al-Walid I

[sunting]715 – 715: era Al-Walid I

Tidak seperti sebagaian besar penguasa pada saat itu, Umar membentuk sebuah dewan yang kemudian bersama-sama dengannya menjalankan pemerintahan provinsi. Masa di Madinah itu menjadi masa yang jauh berbeda dengan pemerintahan sebelumnya, dimana keluhan-keluhan resmi ke Damaskus berkurang dan dapat diselesaikan di Madinah, sebagai tambahan banyak orang yang berimigrasi ke Madinah dari Iraq, mencari perlindungan dari gubernur mereka yang kejam, Al-Hajjaj bin Yusuf. Hal tersebut menyebabkan kemarahan Al-Hajjaj, dan ia menekan al-Walid I untuk memberhentikan Umar. al-Walid I tunduk kepada tekanan Al-Hajjaj dan memberhentikan Umar dari jabatannya. Tetapi sejak itu, Umar sudah memiliki reputasi yang tinggi di Kekhalifahan Islam pada masa itu.
Pada era Al-Walid I ini juga tercatat tentang keputusan khalifah yang kontroversial untuk memperluas area di sekitar masjid Nabawi sehingga rumah Rasulullah ikut direnovasi. Umar membacakan keputusan ini di depan penduduk Madinah termasuk ulama mereka, Said Al Musayyib sehingga banyak dari mereka yang mencucurkan air mata. Berkata Said Al Musayyib: "Sungguh aku berharap agar rumah Rasulullah tetap dibiarkan seperti apa adanya sehingga generasi Islam yang akan datang dapat mengetahui bagaimana sesungguhnya tata cara hidup beliau yang sederhana"[2]

[sunting]715 – 717: era Sulaiman

Umar tetap tinggal di Madinah selama masa sisa pemerintahan al-Walid I dan kemudian dilanjutkan oleh saudara al-Walid, Sulaiman. Sulaiman, yang juga merupakan sepupu Umar selalu mengagumi Umar, dan menolak untuk menunjuk saudara kandung dan anaknya sendiri pada saat pemilihan khalifah dan menunjuk Umar.
[sunting]Kedekatan Umar dengan Sulaiman
Sulaiman bin Abdul-Malik merupakan sepupu langsung dengan Umar. Mereka berdua sangat erat dan selalu bersama. Pada masa pemerintahan Sulaiman bin Abdul-Malik, dunia dinaungi pemerintahan Islam. Kekuasaan Bani Umayyah sangat kukuh dan stabil.
Suatu hari, Sulaiman mengajak Umar ke markas pasukan Bani Umayyah.
Sulaiman bertanya kepada Umar "Apakah yang kau lihat wahai Umar bin Abdul-Aziz?" dengan niat agar dapat membakar semangat Umar ketika melihat kekuatan pasukan yang telah dilatih.
Namun jawab Umar, "Aku sedang lihat dunia itu sedang makan antara satu dengan yang lain, dan engkau adalah orang yang paling bertanggung jawab dan akan ditanyakan oleh Allahmengenainya".
Khalifah Sulaiman berkata lagi "Engkau tidak kagumkah dengan kehebatan pemerintahan kita ini?"
Balas Umar lagi, "Bahkan yang paling hebat dan mengagumkan adalah orang yang mengenali Allah kemudian mendurhakai-Nya, mengenali setan kemudian mengikutinya, mengenali dunia kemudian condong kepada dunia".
Jika Khalifah Sulaiman adalah pemimpin biasa, sudah barang tentu akan marah dengan kata-kata Umar bin Abdul-Aziz, namun beliau menerima dengan hati terbuka bahkan kagum dengan kata-kata itu.

[sunting]Menjadi khalifah

Umar menjadi khalifah menggantikan Sulaiman yang wafat pada tahun 716. Ia di bai'at sebagai khalifah pada hari Jumat setelah salat Jumat. Hari itu juga setelah ashar, rakyat dapat langsung merasakan perubahan kebijakan khalifah baru ini. Khalifah Umar, masih satu nasab dengan Khalifah kedua, Umar bin Khattab dari garis ibu.
Zaman pemerintahannya berhasil memulihkan keadaan negaranya dan mengkondisikan negaranya seperti saat 4 khalifah pertama (Khulafaur Rasyidin) memerintah. Kebijakannya dan kesederhanaan hidupnya pun tak kalah dengan 4 khalifah pertama itu. Gajinya selama menjadi khalifah hanya 2 dirham perhari[3] atau 60 dirham perbulan. Karena itu banyak ahli sejarah menjuluki beliau dengan Khulafaur Rasyidin ke-5. Khalifah Umar ini hanya memerintah selama tiga tahun kurang sedikit. Menurut riwayat, beliau meninggal karena dibunuh (diracun) oleh pembantunya.

[sunting]Sebelum menjabat

Menjelang wafatnya Sulaiman, penasihat kerajaan bernama Raja’ bin Haiwah menasihati beliau, "Wahai Amirul Mukminin, antara perkara yang menyebabkan engkau dijaga di dalam kubur dan menerima syafaat dari Allah di akhirat kelak adalah apabila engkau tinggalkan untuk orang Islam khalifah yang adil, maka siapakah pilihanmu?". Jawab Khalifah Sulaiman, "Aku melihat Umar Ibn Abdul Aziz".
Surat wasiat diarahkan supaya ditulis nama Umar bin Abdul-Aziz sebagai penerus kekhalifahan, tetapi dirahasiakan darai kalangan menteri dan keluarga. Sebelum wafatnya Sulaiman, beliau memerintahkan agar para menteri dan para gubernur berbai’ah dengan nama bakal khalifah yang tercantum dalam surat wasiat tersebut.

[sunting]Naiknya Umar sebagai Amirul Mukminin

Seluruh umat Islam berkumpul di dalam masjid dalam keadaan bertanya-tanya, siapa khalifah mereka yang baru. Raja’ Ibn Haiwah mengumumkan, "Bangunlah wahai Umar bin Abdul-Aziz, sesungguhnya nama engkaulah yang tertulis dalam surat ini".
Umar bin Abdul-Aziz bangkit seraya berkata, "Wahai manusia, sesungguhnya jabatan ini diberikan kepadaku tanpa bermusyawarah dahulu denganku dan tanpa pernah aku memintanya, sesungguhnya aku mencabut bai’ah yang ada dileher kamu dan pilihlah siapa yang kalian kehendaki".
Umat tetap menghendaki Umar sebagai khalifah dan Umar menerima dengan hati yang berat, hati yang takut kepada Allah dan tangisan. Segala keistimewaan sebagai khalifah ditolak dan Umar pulang ke rumah.
Ketika pulang ke rumah, Umar berfikir tentang tugas baru untuk memerintah seluruh daerah Islam yang luas dalam kelelahan setelah mengurus jenazah Khalifah Sulaiman bin Abdul-Malik. Ia berniat untuk tidur.
Pada saat itulah anaknya yang berusia 15 tahun, Abdul-Malik masuk melihat ayahnya dan berkata, "Apakah yang sedang engkau lakukan wahai Amirul Mukminin?".
Umar menjawab, "Wahai anakku, ayahmu letih mengurusi jenazah bapak saudaramu dan ayahmu tidak pernah merasakan keletihan seperti ini".
"Jadi apa engkau akan buat wahai ayah?", Tanya anaknya ingin tahu.
Umar membalas, "Ayah akan tidur sebentar hingga masuk waktu zuhur, kemudian ayah akan keluar untuk salat bersama rakyat".
Apa pula kata anaknya apabila mengetahui ayahnya Amirul Mukminin yang baru “Ayah, siapa pula yang menjamin ayah masih hidup sehingga waktu zuhur nanti sedangkan sekarang adalah tanggungjawab Amirul Mukminin mengembalikan hak-hak orang yang dizalimi” Umar ibn Abdul Aziz terus terbangun dan membatalkan niat untuk tidur, beliau memanggil anaknya mendekati beliau, mengucup kedua belah mata anaknya sambil berkata “Segala puji bagi Allah yang mengeluarkan dari keturunanku, orang yang menolong aku di atas agamaku”

[sunting]Pemerintahan Umar bin Abdul-Aziz

Hari kedua dilantik menjadi khalifah, beliau menyampaikan khutbah umum. Dihujung khutbahnya, beliau berkata “Wahai manusia, tiada nabi selepas Muhammad saw dan tiada kitab selepas al-Quran, aku bukan penentu hukum malah aku pelaksana hukum Allah, aku bukan ahli bid’ah malah aku seorang yang mengikut sunnah, aku bukan orang yang paling baik dikalangan kamu sedangkan aku cuma orang yang paling berat tanggungannya dikalangan kamu, aku mengucapkan ucapan ini sedangkan aku tahu aku adalah orang yang paling banyak dosa di sisi Allah” Beliau kemudian duduk dan menangis "Alangkah besarnya ujian Allah kepadaku" sambung Umar Ibn Abdul Aziz.
Beliau pulang ke rumah dan menangis sehingga ditegur isteri “Apa yang Amirul Mukminin tangiskan?” Beliau mejawab “Wahai isteriku, aku telah diuji oleh Allah dengan jawatan ini dan aku sedang teringat kepada orang-orang yang miskin, ibu-ibu yang janda, anaknya ramai, rezekinya sedikit, aku teringat orang-orang dalam tawanan, para fuqara’ kaum muslimin. Aku tahu mereka semua ini akan mendakwaku di akhirat kelak dan aku bimbang aku tidak dapat jawab hujah-hujah mereka sebagai khalifah kerana aku tahu, yang menjadi pembela di pihak mereka adalah Rasulullah saw’’ Isterinya juga turut mengalir air mata.
Umar Ibn Abdul Aziz mula memeritah pada usia 36 tahun sepanjang tempoh 2 tahun 5 bulan 5 hari. Pemerintahan beliau sangat menakjubkan. Pada waktu inilah dikatakan tiada siapa pun umat Islam yang layak menerima zakat sehingga harta zakat yang menggunung itu terpaksa diiklankan kepada sesiapa yang tiada pembiayaan untuk bernikah dan juga hal-hal lain.

[sunting]Surat dari Raja Sriwijaya

Tercatat Raja Sriwijaya pernah dua kali mengirimkan surat kepada khalifah Bani Umayyah. Yang pertama dikirim kepada Muawiyah I, dan yang ke-2 kepada Umar bin Abdul-Aziz. Surat kedua didokumentasikan oleh Abd Rabbih (860-940) dalam karyanya Al-Iqdul Farid. Potongan surat tersebut berbunyi:[4]
Dari Rajadiraja...; yang adalah keturunan seribu raja ... kepada Raja Arab yang tidak menyekutukan tuhan-tuhan yang lain dengan Tuhan. Saya telah mengirimkan kepada Anda hadiah, yang sebenarnya merupakan hadiah yang tak begitu banyak, tetapi sekedar tanda persahabatan; dan saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkanIslam kepada saya, dan menjelaskan kepada saya hukum-hukumnya.

[sunting]Hari-hari terakhir Umar bin Abdul-Aziz

Umar bin Abdul-Aziz wafat disebabkan oleh sakit akibat diracun oleh pembantunya. Umat Islam datang berziarah melihat kedhaifan hidup khalifah sehingga ditegur oleh menteri kepada isterinya, "Gantilah baju khalifah itu", dibalas isterinya, "Itu saja pakaian yang khalifah miliki".
Apabila beliau ditanya “Wahai Amirul Mukminin, tidakkah engkau mau mewasiatkan sesuatu kepada anak-anakmu?”
Umar Abdul Aziz menjawab: "Apa yang ingin kuwasiatkan? Aku tidak memiliki apa-apa"
"Mengapa engkau tinggalkan anak-anakmu dalam keadaan tidak memiliki?"
"Jika anak-anakku orang soleh, Allah lah yang menguruskan orang-orang soleh. Jika mereka orang-orang yang tidak soleh, aku tidak mau meninggalkan hartaku di tangan orang yang mendurhakai Allah lalu menggunakan hartaku untuk mendurhakai Allah"
Pada waktu lain, Umar bin Abdul-Aziz memanggil semua anaknya dan berkata: "Wahai anak-anakku, sesungguhnya ayahmu telah diberi dua pilihan, pertama : menjadikan kamu semua kaya dan ayah masuk ke dalam neraka, kedua: kamu miskin seperti sekarang dan ayah masuk ke dalam surga (kerana tidak menggunakan uang rakyat). Sesungguhnya wahai anak-anakku, aku telah memilih surga." (beliau tidak berkata : aku telah memilih kamu susah)
Anak-anaknya ditinggalkan tidak berharta dibandingkan anak-anak gubernur lain yang kaya. Setelah kejatuhan Bani Umayyah dan masa-masa setelahnya, keturunan Umar bin Abdul-Aziz adalah golongan yang kaya berkat doa dan tawakkal Umar bin Abdul-Aziz.