Sabtu, 27 Oktober 2012

Utsman bin Mazh'un RA


            Utsman bin Mazh'un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan as sabiqunal awwalin. Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy. Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut. Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.
Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"
Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."
Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."
Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"
Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul. Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!”
Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"
Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab sempat berkata, "Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!”
Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi SAW wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran. Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."
Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang. Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran. Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."
          Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi. Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan, Ruqayyah binti Muhammad meninggal, Nabi SAW bersabda, "Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh'un..!!"

Utsman bin Mazh'un RA


            Utsman bin Mazh'un merupakan golongan awal yang masuk Islam, sebelum mencapai dua puluh orang, sehingga ia termasuk dalam golongan as sabiqunal awwalin. Pada awal keislamannya, ia pernah berhijrah ke Habasyah sampai dua kali untuk menghindari siksaan kaum kafir Quraisy. Ketika berhembus kabar bahwa orang-orang Quraisy telah menerima Islam, ia kembali ke Makkah. Tetapi ternyata itu hanya kabar bohong, bahkan mereka telah bersiap untuk menangkap dan menyiksa para sahabat yang baru kembali dari Habasyah tersebut. Untung bagi Utsman, pamannya Walid bin Mughirah (ayah Khalid bin Walid), menyatakan memberikan perlindungan keamanan kepadanya, sehingga orang-orang kafir Quraisy tidak bisa menyiksanya.
Utsman bebas bergerak dan berjalan dimana saja di Makkah karena perlindungan Walid tersebut, tetapi ia melihat kaum muslimin lainnya dalam ketakutan, sebagian dalam derita penyiksaan. Ia jadi merasa tidak nyaman walau dalam keamanan, karena itu ia mengembalikan jaminan perlindungan pamannya tersebut, sehingga bisa merasakan seperti yang dirasakan oleh saudara muslim lainnya. Ketika Walid menanyakan alasannya, ia berkata, "Aku hanya ingin berlindung kepada Allah dan tidak suka kepada yang lain-Nya…"
Suatu ketika ia melewati majelis orang kafir Quraisy yang sedang mendengarkan lantunan syair dari seorang penyair bernama Labid bin Rabiah. Seperti biasanya, para hadirin akan memberi applaus. Utsman bin Madz’un ikut memberi applaus ketika Labid menyampaikan salah satu baitnya, "Ingatlah, segala sesuatu selain Allah akan binasa."
Labidpun meneruskan bait syairnya, "Dan semua nikmat niscaya pasti sirna."
Spontan Utsman berteriak, "Dusta…!! Nikmat surga tidak akan pernah sirna…"
Mendengar ada orang yang membantah syairnya, Labid jadi marah, ia meminta agar orang Quraisy bertindak karena ada yang mulai berani merusak forum mereka. Seseorang bangkit untuk memukul Utsman, tetapi ia membalas pukulannya tersebut, akibatnya salah satu matanya bengkak karena terpukul. Pamannya, Walid bin Mughirah, yang berada di sebelahnya berkata, “Kalau saja engkau masih berada dalam perlindunganku, matamu tidak akan mendapat musibah seperti itu!!”
Mendengar komentar pamannya itu, Utsman justru menjawab dengan semangat, "Bahkan aku merindukan ini terjadi padaku, dan mataku yang satunya menjadi iri dengan apa yang dialami oleh saudaranya. Aku berada dalam perlindungan Dzat yang lebih mulia daripada kamu!"
Ketika telah tinggal di Madinah, Utsman bin Mazh'un meninggal karena sakit, tidak gugur dalam pertempuran sebagai syahid. Hal ini sempat menimbulkan prasangka yang buruk, bahkan Umar bin Khaththab sempat berkata, "Lihatlah orang ini (yakni Utsman) yang sangat menjauhi kebesaran dunia (yakni zuhud), tetapi ia mati tidak dibunuh (mati syahid) !!”
Persangkaan seperti itu terus bersemayam dalam pikiran banyak orang sampai akhirnya Nabi SAW wafat karena sakit dan tidak dalam pertempuran. Umar-pun berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling mulia di antara kita telah meninggal dunia."
Prasangka seperti itupun jadi hilang, mereka tidak lagi memandang remeh kematiannya yang tidak dibunuh atau syahid di medang perang. Dan hal itu makin menguat ketika Khalifah Abu Bakar-pun meninggal juga karena sakit, tidak terbunuh di medan pertempuran. Kali ini Umar berkata, "Alangkah sedihnya, orang yang paling baik di antara kita telah meninggal dunia."
          Utsman merupakan sahabat yang pertama meninggal di Madinah dan orang muslim pertama yang pertama kali dimakamkan di Baqi. Beberapa waktu kemudian putri Nabi SAW yang juga istri Utsman bin Affan, Ruqayyah binti Muhammad meninggal, Nabi SAW bersabda, "Pergilah, wahai putriku, susullah saudara kita yang saleh, Utsman bin Mazh'un..!!

Minggu, 21 Oktober 2012

KISAH ABU JAHAL, ABU LAHAB DAN MUSAILAMAH AL KADZAB


KISAH ABU LAHAB, ABU JAHAL DAN MUSAILAMAH AL KADZAB
KISAH ABU LAHAB
Kisah Abu Lahab tercantum dalam Al Qur’an surat Al Lahab (surat ke 111) ayat satu sampai dengan ayat lima yang artinya:
Dengan menyebut nama Allah Yang maha Pemurah lagi Maha Penyayang
  1. Binasalah kedua tangan Abu Lahab dan sesungguhnya dia akan binasa

  2. Tidaklah berfaedah kepadanya harta bendanya dan apa yang ia usahakan

  3. Kelak dia akan masuk ke dalam api yang bergejolak

  4. Dan ( begitu pula) isterinya, pembawa kayu bakar

  5. Yang di lehernya ada tali dari sabut
Dalam surat Al-Lahab ini menceritakan Bahwa Abu Lahab dan isterinya menentang Rasulullah SAW. Keduanya akan celaka dan masuk neraka. Harta Abu Lahab tak berguna untuk keselamatannya demikian pula segala usaha-usahanya.
Abu Lahab adalah keturunan dari suku Quraisy yang memusuhi, menentang dan menghalang-halangi perjuanagn dakwah Rasulullah SAW dalam menegakkan agama Islam di Makah. Abu Lahab selalu menghasud para pengikut Nabi Muahammad SAW
supaya tidak mengikuti ajaran Nabi. Ia berusaha sedemikian rupa dalam menghalang-halangi dakwah nabi, ia berupaya merendahkan agama Islam.
Pada suatu ketika Rasulullah SAW naik ke Bukit Shafa sambil berseru: “Mari berkumpul pada pagi hari ini!” Maka berkumpullah kaum Quraisy. Rasulullah SAW bersabda: “Bagaimana pendapat kalian, seandainya aku beritahu bahwa musuh akan datang besuk pagi atau petang, apakah kalian percaya kepadaku?”
Kaum Quraisy menjawab: “Pasti kami percaya.” Rasulullah SAW bersabda: “Aku peringatkan kalian bahwa siksa Allah yang dahsyat akan datang.” Berkatalah Abu Lahab: Celakalah engkau! Apakah hanya untuk ini, engkau kumpulkan kami?”.
Istri Abu Lahab juga mengikuti jejak Abu Lahab yaitu menghalang-halangi Islam dengan menyebarkan duri-duri di tempat yang akan dilalui Rasulullah SAW. Abu Lahab dengan perlakuannya seperi itu amatlah rugi dan sangat celaka, amalnya sa-sia, usahanya untuk menghalang-halangi Islam percuma, harta, pangkat, kedudukan yang dibanggakan Abu Lahab tidak berarti apa-apa. Abu lahab kelak akan disiksa dengan api neraka yang sangat panas.
KISAH ABU JAHAL
Abu Jahal nama lengkapnya adalah Abu Jahal bin Hisyam. Orang Quraisy biasa memanggilnya Abul Hakam. Ia termasuk orang yang terpandang di kalangan kabilah Quraisy. Dia adalah orang kafir Quraisy yang selalu menghalang-halangi dan memusuhi Nabi Muhammad SAW. Ejekan dan hinaan sering sekali dilontarkan dari mulutnya, menganggap Nabi gila “Hai Muhammad, apalagi yang hendak kau katakan hari ini?” suara Abu jahal dengan nada mengejek. “Ada berita penting yang harus kusampaikan,”Jawab Nabi, tenang.
“Apa itu?”
“Semalam aku telah isra’ ke Baitul Maqdis,”
“Haa…ha…gila. Kaumku! Kemarilah kalian semua! Ada berita penting dari Muhammad!” Abu Jahal memanggil orang-orag kafir Quraisy sambil terbahak-bahak.
Dalam waktu singkat penduduk mengelilingi Nabi.
“Ada apa lagi ini?” Tanya orang-orang Quraisy kasak kusuk.
“Muhammad selalu membuat ulah yang aneh-aneh, “kata kaum kafir Quraisy.
Tidak lama kemudian Nabi Muhammad SAW bercerita tentang pertemuannya dengan para Nabi. Mereka bahkan melakukan shalat berjamaah.
“Kalau kau memang bertemu para Nabi, bagaimana penampilan mereka itu? tanya Abu Jahal dengan berlagak menyelidik.
“Nabi Isa bertubuh sedang, tidak jangkung dan tidak pendek, warna kulitnya kemerahan. Kalau Nabi Musa bertubuh kekar dan jangkung. Kulitnya agak kehitaman. Sedangkan Nabi Ibrahim lebih mirip diriku, “kata Rasullullah SAW.
“Ah cerita seperti itu bisa dikarang! Siapa yang bisa meyakinkan kebenaran omongannya?”orang-orang Quraisy tetap tidak puas. Mereka lupa bahwa sejak kecil sampai dewasa (berusia 40 tahun) Rasulullah tidak sekalipun pernah berbohong.
“Bagaimana kami bisa percaya pada kata-katamu? Perjalanan yang begitu jauh engkau tempuh dalam waktu semalam saja?” Tanya seorang pemuka Quraisy.
Akhirnya Nabi bercerita lagi mengenai pertemuannya dengan beberapa kafilah yang sedang menuju Makah. Mereka baru akan tiba sore itu. Nabi menggambarkan ciri-ciri kafilah tadi dengan menjelaskan warna unta yang paling depan beserta bawaannya dan Nabi memberikan petunjuk arah pada kafilah yang tersesat.
Orang-orang kafir Quraisy segera pergi dan mencari kafilah yang diceritakan Nabi tadi ternyata keterangan Nabi benar. Meskipun demikian, kaum kafir yang sesat itu masih tidak mempercayai mukjizat yang diterima Rasulullah. Mereka tetap tidak mau beriman.
Abu Jahal Ingin membunuh Rasulullah SAW
Para petinggi Quraisy ingin berunding dengan Rasulullah SAW. Tatkala Rasulullah SAW berlalu, Abu Jahal dengan sombongnya berkata kepada kaum Quraisy, Wahai kaum Quraisy! Sesungguhnya Muhammad sebagaimana yang telah kalian saksikan, hanya ingin mencela agama nenek moyang kita, menuduh kita menyimpang dari kebenaran serta mencaci tuhan-tuhan kita. Sungguh aku berjanjiatas nama Allah untuk duduk di dekatnya dengan membawa batu besar yang mampu aku angkat dan aku hempaskan ke atas kepalanya saat dia sedang sujud dalam shalatnya. Maka setelah itu, kalian hanya memiliki dua pilihan; menyerahkanku atau melindungiku. Dan setelah itu, Silakan Bani ‘Abdi Manaf berbuat apa saja yang mereka mau.”
Mereka menjawab, Demi Allah, “Demi Allah! Sekali-kali Kami tidak akan menyerahkanmu. Lakukan apa yang engkau inginkan.”
Pagi harinya, Abu Jahal benar-benar mengambil batu besar sebagamana yang ia katakan, kemudian duduk sambil menunggu Rasulullah SAW, tak berapa lama, Rasulullah dating sebagaimana biasa. Lalu beliau melakukan shalat sedangkan kaum Quraisy juga sudah datang dan duduk ditempat mereka berkumpul sambil menunggu yang akan dilakukan oleh Abu Jahal. Rasul saat sujud, Abu jahal mengangkat batu besar kemudian berjalan menuju kearah nabi hingga jaraknya dekat. Akan tetapi anehnya ia berbalik mundur, wajahnya pucat pasi ketakutan. Tangannya sudah tidak bisa menahan beratnya batu hingga dia melemparkannya. Menyaksikan hal seperti itu, para pemuka Quraisy bergegas menyongsong dan bertanya”Ada apa denganmu, wahai Abu Jahal.”
“Aku telah berdiri menuju kearahnya untuk melakukan yang telah ku katakan semalam, namun ketika aku mendekatinya seakan ada onta jantan yang menghalangiku. Aku belum pernah melihat onta jantan yang lebih menakutkan darinya, baik rupanya, lehernya ataupun taringnya. Binatang itu ingin memangsaku”, Kata Abu Jahal.
Walaupun demikian Abu Jahal tidak ada sadarnya pada saat parlemen “Darun Nadwah” mengadakan sidang istimewa, Abu Jahal mewakili kabilah Bani Makhzum.
Sidang parlemen ini menyepakati terhadap keputusan keji untuk membunuh Nabi Muhammad SAW . Usulan keji itu berasal dari penjahat kelas kakap Makah yaitu bernama Abu Jahal dengan usulan bahwa setiap kabilah harus memilih seorang pemuda yang gagah dan bernasab baik sebagai perantara, kemudian masing-masing diberikannya pedang yang tajam, lalu mereka arahkan untuk menebas secara serentak seakan tebasan satu orang untuk kemudian membunuhnya. Dengan begitu akan terbebas dari ancamannya. Berarti darahnya telah ditumpahkan oleh semua kabilah.
Tatkala keputusan keji itu akan dilaksanakan turunlah Malaikat Jibril untuk memberitahukan perihal persekongkolan Kaum Quraisy. Atas izin Allah SWT Nabi Muhammad SAW berhijrah meninggalkan Makah.
Abu Jahal dengan penuh keangkuhan dan kesombongan yakin betul akan berhasil membunuh Nabi seraya berkata pada rekannya Jika kalian tidak melakukannya , maka dia akan menyembelih kalian. Sekalipun persiapan yang dilakukan orang Quraisy untuk melaksanakan rencana keji sedemikian rapinya namun mereka mengalami kegagalan.
Abu Jahal gagal menangkap nabi lantas melabrak menyatroni Rumah Abu Bakar dan keluarlah Asma binti Abu Bakar. Abu Jahal yang terkenal dengan perangainya yang buruk menampar pipi Ama dengan sebuah tamparan yang menyebabkan anting-antingnya jatuh.
Singkat cerita dengan sisa-sisa kecongkakan dan keangkuhannya dia berusaha untuk tegar dan semangat. Abu Jahal yang suka mencaci maki Rasulullah SAW itu diserang oleh dua pemuda secara serentak pada saat perang Badar dengan pedangnya hingga dapat membunuhnya. Dua pemuda tersebut bernama Muadz bin Amr Al-Jamuh dan Mu’awwid bin Afra.
KISAH MUSAILAMAH AL KADZAB
Musailamah Al Kadzb adalah seorang nabi palsu. Ia mendakwahkan dirinya jadi nabi. Ia berusaha untuk menandingi Al Qur’an, padahal mustahil bagi manusia dapat membuat susunan yang serupa dengan Al Qur’an yang dapat menandinginya. Keindahan susunan dan gaya bahasanya serta isinya tidak ada tara bandingannya. Al Qur’an adalah mukjizat yang terbesar yang diberikan kepada Nabi Muhammad SAW.
Di dalam Al Qur’an sendiri memang terdapat ayat-ayat yang menantang setiap orang dan mengatakan: kendatipun berkumpul jin dan manusia untuk membuat yang serupa dengan Al Qur’an, mereka tidak akan dapat membuatnya, sebagaimana Firman Allah SWT
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya jika manusia dan jin berkumpul untuk mengatakan yang serupa Al Qur’an ini, niscaya tidak mereka akan dapat membuatnya, biarpun sebagian mereka membantu sebagian (yang lain).” (QS Al Isra’ ayat 88).
Musailamah Al Kadzab nabi palsu itu membuat gubahan untuk menandingi Al Qur’an. Kata-kata Musailamah Al Kadzab yang dianggapnya dapat menandingi sebagian ayat-ayat Al Qur’an contohnya adalah:
Artinya: Hai katak (kodok) anak dari dua katak, berkuaklah sesukamu,bahagian atas engau di air dan bahagian bawah engkau di tanah.
Seorang sasterawan Arab yang ternama yaitu Al Jahiz memberikan penilaian gubahan Musailamah Al Kadzab ini dalam bukunya yang bernama “ Al Hayawan “ sebagai berikut: Saya tidak mngerti apakah gerangan yang menggerakkan jiwa Musailamah menyebut katak (kodok) dan sebagainya itu, Alangkah kotornya gubahan yang dikatakannya sebagai ayat Al Qur’an itu kepadanya sebagai wahyu.”
Musailamah Al Kadzab menemui kegagalan dalam menandingi Al Qur’an. Ia bahkan mendapat cemoohan dan hinaan dari masyarakat.
Musailamah Al Kadzab yang mengaku sebagai nabi ini akhirnya ditumpas maka terjadilah pertempuran Yamamah pada tahun 12 Hijriyah, yaitu pertempuran antara pasukan Islam yang dipimpin oleh Kalid abi Walid melawan pasukan Musailamah Al Kadzab. Dengan pertempuran ini pasukan Islam dapat menumpas pasukan Musailamah Al Kadzab. Akhirnya Musailamah Al Kadzab berhasil dibunuh oleh Wahsyi.
DIBAWAH INI ADALAH PERILAKU YANG TIDAK TERPUJI
(JANGAN DITIRU YA)
Abu Lahab dan Abu Jahal pendengki
Abu Lahab dan Abu jahal adalah seorang yang mempunyai perilaku buruk yaitu berupa sifat dengki. Dengki atau iri hati adalah sifat dan sikap tidak senang dengan kenikmatan yang diperoleh orang lain dan berusaha untuk menghilangkan kenikmatan itu dari orang lain yang memilikinya.
Menurut kamus besar bahasa Indonesia terbitan Balai Pustaka dengki adalah menaruh perasaan marah (benci, tidak suka) karena iri yang amat sangat kepada keberuntungan orang lain.
Dengki seperti yang telah dilakukan oleh Abu Lahab dan Abu Jahal adalah sangat terlarang dalam agama Islam, karena dengki itu akan mengakibatkan malapetaka dan kehancuran bagi yang dengki itu sendiri maupun kepada orang lain.
Orang yang dengki seperti Abu Lahab dan Abu Jahal ini akan selalu membuat rencana yang tidak baik terhadap orang yang didengkinya, perasaannya akan selalu resah dan gelisah yang mendalam karena keberhasilan orang lain, sehingga ia berusaha sekuat tenaga, daya dan upaya untuk merebutnya.
Perilaku dengki Abu Lahab dan Abu Jahal dalam sejarah yaitu seperti menghasud, memfitnah, menghalang-halangi perjuangan, menolak dan menyanggah kebenaran, menghina, merendahkan, membanggakan harta, pangkat dan ketenaran, menjerumuskan, memusuhi, menjebak dan bahkan ingin membunuhnya.
Sifat dengki, bukanlah sifatnya orang yang beriman, tetapi sifat ini adalah sifat Iblis. Orang yang dengki akan mendapat dosa yang besar dari Allah SWT. Islam mengajarkan untuk saling tolong-menolong. Kita harus menjaga persaudaraan, saling membantu dan saling nasehat-menasehati dalam kebenaran dan menetapi kesabaran.
Firman Allah SWT
Artinya:…Tolong-menolonglah kamu dalam kebaikan dan takwa, dan janganlah kamu tolong-menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran. (Q.S Al Maidah (5): 2)
Artinya: …Dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran Q.S Al Ashr (103):3)
Oleh karena itu kita harus bisa menghindari perilaku dengki seperti yang telah dilakukan oleh Abu Lahab dan Abu Jahal karena kedua orang tersebut adalah orang yang paling jahat dan jelek sekali moralnya, seakan-akan tidak ada lagi kebaikannya, hatinya tidak terbuka sedikitpun untuk menerima kebenaran. Makanya kita sebagai muslim jangan sampai mengikuti perilakunya. Kita harus berdaya upaya untuk menghindari perilaku dengki agar dapat selamat di dunia dan di akherat kelak.
Musailamah Al Kadzab pembohong
Bohong adalah tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Musailamah Al Kadzab adalah seorang yang berperilaku bohong. Ia mengaku sebagai Nabi, padahal setelah Nabi Muhammad SAW tidak ada lagi nabi. Nabi Muhammad SAW adalah Nabi yang terakhir. Nabi Akhiruz zaman.
Musailamah Al Kadzab menunjukkan perilaku yang buruk, tidak mencerminkan perilaku yang terpuji, bahkan merupakan induk dari berbagai akhlak yang buruk. Berbuat bohong sangat merugikan diri sendiri dan orang banyak.
Perilaku bohong merupakan penyakit rokhani, ucapannya tidak akan dipercaya orang, sekalipun yang diucapkannya itu benar. Dalam hal bohong seperti yang dilakukan oleh Musailamah Al Kadzab banyak macam ragamnya diantaranya, mendustakan ayat-ayat Allah SWT dan Rasul-Nya, berbohong kepada orang lain, berbohong antara atasan dan bawahan, pemimpin dengan pemimpin, berbohong antar teman sendiri dll.
Berbohong merupakan akhlak yang tercela yang harus kita hindari sejauh mungkin, apalagi berbohong kepada Allah SWT dan Rasul-Nya akan berakibat yang fatal sebagaimana Firman Allah SWT
Artinya: “Dan pada hari Kiamat akan melihat orang-orang yang berbuat dusta terhadap Allah SWT mukanya menjadi hitam. Bahkan dalam neraka jahannam itu ada tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri” (Q.S. Az Zumar ( 39 ): 60)
Berbohong selain termasuk sifat tercela yang pelakunya akan ditempatkan di neraka Jahannam, juga merupakan salah satu sifat dari munafik. Dalam hadits Bukhari Muslim disebutkan:
Artinya: “ Tanda-tanda orang Munafik ada tiga: apabila berbicara selalu bohong / dusta, apabila berjanji tidak ditepati/ menyelisihi, dan apabila dipercaya berhianat (H.R. Bukhari Muslim).
Perilaku seperti yang dilakukan Musailamah Al Kadzab si Nabi Palsu itu harus kita hindari. Perilaku yang harus kita pupuk adalah perilaku untuk memperbaiki iman kita, karena dengan iman yang baik akan membuahkan akhlak yang terpuji dan dari akhlak yang terpuji akan mewujudkan perbuatan yang terpuji, tegas, lugas dan tidak akan berbohong.
Orang yang selalu berkata jujur, benar, adil dan terbuka akan memperoleh kebahagiaan hidup baik di dunia maupun di akherat kelak. Oleh karena itu jauhilah sifat –sifat tercela seperti bohong ini dalam kehidupan sehari-hari sebagai bukti takwa kita terhadap Allah SWT.
Orang yang jujur akan dipercaya orang lain, disukai teman, dicintai Allah SWT dan Rasul-Nya dan bisa hidup dengan tenang dan nyaman. Akan tetapi sebaliknya apabila sifat bohong kita lakukan akan membuat kita sendiri rugi. Kita akan dijauhi teman, dibenci Allah SWT dan rasul-Nya dan akan selalu merasakan resah, gundah, gelisah dalam hidup dan kehidupannya.

Minggu, 14 Oktober 2012

Amir bin Fuhairah RA

  Amir bin Fuhairah RA adalah hamba sahaya milik Abu Bakar yang telah dibebaskan. Sungguh Islam telah mengangkat derajat seseorang, dari seorang budak, ia dimuliakan tiada tara karena akhirnya ia menjadi seorang hafidz (Seseorang yang Hafal) Al Qur'an.
Ketika Nabi SAW dan Abu Bakar berhijrah ke Madinah, dua orang bersahabat ini bersembunyi di Gua Tsur selama tiga hari untuk menghindari pengejaran kaum Quraisy. Dalam tiga hari tersebut, Amir menggembalakan kambing seperti biasanya bersama penggembala lain, tetapi ketika pulang, ia berlambat-lambat hingga gelap malam, dan membawa kambing-kambing tersebut ke Gua Tsur, sehingga Nabi SAW dan Abu Bakar dapat meminum susunya. Pada pagi harinya ia telah berada di padang gembalaan bersama dengan penggembala lainnya, sehingga orang-orang kafir Quraisy sama sekali tidak curiga atas apa yang dilakukannya.
Sebagai seorang Hafidz Qur'an, ia dipilih Nabi SAW menjadi salah satu dari 70 sahabat yang dikirim kepada Bani Amir di Najd untuk mendakwahi mereka. Tetapi kelompok dakwah sahabat ini dikhianati  dan mengalami tragedi pembantaian di Bi'r Ma'unah. Ketika tombak telah menembus tubuhnya, dalam keadaan sakit yang tidak terkira, Amir bin Fuhairah berkata, "Demi Allah, aku telah berjaya…" 
Setelah itu tubuhnya terkulai roboh, tetapi tiba-tiba jenazahnya terangkat ke langit. Kejadian ini disaksikan langsung oleh pembunuhnya, Jabbar bin Salma, dan selalu terngiang-ngiang ucapan Amir bin Fuhairah dan peristiwa ajaib tersebut. Di kemudian hari ia memperoleh penjelasan bahwa “kejayaan” dimaksud adalah surga. Jabbarpun akhirnya memeluk Islam karena peristiwa ini. Sungguh suatu tambahan kemuliaan bagi Amir, karena kesyahidannya membawa hidayah bagi orang lain. 
            Dalam riwayat lain, dikatakan bahwa sahabat yang ditombak oleh Jabbar tersebut adalah Haram bin Milhan.

Abdullah bin Abbas RA

Abdullah bin Abbas masih sepupu Nabi SAW sendiri walaupun usianya berbeda jauh, ia  putra dari Abbas bin Abdul Muthalib, paman beliau. Ia hidup dan bergaul bersama Rasulullah SAW ketika masih anak-anak. Ia berhijrah ke Madinah pada tahun 5 hijriah ketika berusia 8 tahun. Ia berangkat bersama kakaknya, Fadhl bin Abbas RA dan seorang budaknya, Abu Rafi. Mereka sempat tersesat di Rakubah sebelum akhirnya sampai di kediaman Bani Amr bin Auf dan masuk ke Madinah. 
Suatu ketika Nabi SAW menariknya mendekat, menepuk-nepuk bahunya dan berdoa untuknya, "Ya Allah, berilah ia ilmu agama yang mendalam, ajarkanlah kepadanya ta'wil (yakni, ilmu tentang tafsir Al Qur’an) ." (Allahumma, faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil).
Doa ini diulangi beberapa kali oleh Nabi SAW ketika beliau bertemu Ibnu Abbas, sehingga ia benar-benar menjadi orang yang sangat mendalam ilmu agamanya dan menjadi ahli tafsir Al Qur'an.
Abdullah bin Abbas memang selalu menghadiri majelis pengajaran Nabi SAW, dan menghafalkan apa yang beliau sampaikan. Ketika berusia 10 tahun, ia telah mampu menghafal Al Qur'an hingga manzil (yang diturunkan) terakhir. Ketika Rasulullah wafat, ia berusia 13 tahun dan saat itu ia telah menjadi seorang ahli tafsir Al Qur'an yang diakui oleh para sahabat lainnya. Namun demikian ia tidak berhenti menggali dan mencari ilmu dari para sahabat-sahabat Nabi SAW yang terdahulu. Ia tidak segan memacu tunggangannya mengarungi padang pasir menemui seorang sahabat, yang tidak terkenal sekalipun, bila didengarnya ia pernah memperoleh pengajaran (atau suatu hadits) langsung dari Nabi SAW. Sungguh, kehausannya akan ilmu agama, apalagi yang bersangkutan dengan al Qur’an dan hadits Nabi SAW seakan tak pernah terpuaskan.  
Suatu ketika Ibnu Abbas melihat Nabi SAW sedang shalat sunnah, segera saja ia berdiri di belakang beliau dan mengikuti shalat. Melihat Ibnu Abbas, beliau menarik tangannya hingga berdiri sejajar, kemudian meneruskan shalatnya. Tetapi Abdullah bin Abbas mundur selangkah sambil tetap meneruskan shalat. Setelah selesai shalat, Nabi SAW menanyakan kenapa ia mundur lagi ke belakang, Ibnu Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, engkau adalah pesuruh Allah, bagaimana mungkin saya dapat berdiri sejajar denganmu."
Rasulullah SAW tersenyum, dan kembali mendoakannya seperti sebelumnya, yakni : Allahumma faqqihu fiddiin, wa 'allimu fit ta'wiil.
            Seusai perang Hunain, Nabi SAW menyatakan bahwa sepeninggal beliau kelak, orang-orang Anshar akan mengalami perlakuan pilih kasih dari pihak yang berkuasa, hal ini terekam kuat dalam ingatannya walau saat itu ia masih kecil. Hal itu memunculkan tekad dalam hatinya untuk membela orang-orang Anshar jika saat itu tiba.
Pada masa khalifah Umar atau Utsman (perawi Abu Zinad ragu antara Umar atau Utsman), sekelompok sahabat, di antaranya Hasan bin Tsabit dan Abdullah bin Abbas, mewakili orang-orang Anshar meminta kepada khalifah agar memenuhi hajat kebutuhan mereka. Beberapa sahabat berdiri mengutarakan keutamaan orang-orang Anshar dan jasa-jasa mereka saat bersama Nabi SAW, dengan harapan khalifah bisa memenuhinya.
Kebutuhan orang-orang Anshar yang diperjuangkan saat itu memang nilainya cukup besar, sehingga khalifahpun memberikan berbagai argumen dan alasan, karena tidak bisa memenuhinya begitu saja. Beberapa orang sahabat akhirnya menerima alasan khalifah, termasuk sebagian sahabat Anshar. Tetapi ternyata Ibnu Abbas tidak mau menyerah begitu saja, selalu terngiang-ngiang “ramalan” Rasulullah SAW tentang ketidak-adilan yang akan dialami kaum Anshar. Ia akan merasa sangat bersalah jika ia melihat sisi ketidak-adilan tersebut muncul, dan tidak berbuat apa-apa untuk melawannya.
Tiba-tiba Ibnu Abbas berdiri dan dengan tegas ia mendebat semua argumentasi khalifah. Doa Nabi SAW,  "Faqqihu fid diin wa 'allimu fit ta'wil" benar-benar mewujud dalam dirinya. Semua argumen dan alasan itu dapat dipatahkannya sehingga mau tidak mau khalifah memenuhi kebutuhan para sahabat Anshar tersebut. Ini bukan sikap menang-menangan, tetapi bagaimana mendudukkan masalah sehingga khalifah terhindar dari sikap pilih kasih, dan tetap berdiri di atas keadilan. Dan khalifah sendiri akhirnya menyadari, bukannya marah, tetapi justru ia berterima kasih atas nasehat yang diberikan Abdullah bin Abbas.
Hassan bin Tsabit, yang digelari sebagai ‘Penyair dan Pembela Rasulullah SAW’, berkata kepada para sahabat yang bersama-sama menghadap khalifah, "Demi Allah! Sesungguhnya ia (Ibnu Abbas RA) adalah yang paling utama di antara kalian, karena ia adalah sisa kenabian dan pewaris Ahmad SAW. Kesamaan ras dan kemiripan wataknya memberi petunjuk kepadanya."
Begitu juga yang terjadi dengan sahabat Abu Ayyub al Anshari. Sahabat Anshar ini menyediakan rumahnya untuk ditempati Nabi SAW ketika beliau pertama kali tiba di Madinah. Selama berbulan-bulan beliau tinggal di rumahnya sampai kaum muslimin selesai membangun Masjid Nabawi, dan rumah tinggal beliau di serambi masjid tersebut. Pada masa khalifah Muawiyah, ia mengalami masalah keuangan dan terlilit hutang. Ketika menghadap khalifah dan menyampaikan permasalahannya, ia tidak memperoleh apapun kecuali “nasehat” untuk bersabar, sebagaimana diramalkan Rasulullah SAW. Akhirnya ia berkunjung kepada Abdullah bin Abbas di Bashrah.
Ibnu Abbas menyambut kehadiran Abu Ayyub al Anshari dengan hangat. Ia membiarkan rumahnya ditempati Abu Ayyub dan semua kebutuhannya dipenuhi sehingga bisa menyelesaikan masalah hutangnya, bahkan masih banyak kelebihannya. Ibnu Abbas berkata kepada Abu Ayyub, "Aku akan berbuat baik kepadamu sebagaimana engkau telah berbuat baik kepada Rasulullah SAW.  Aku dan keluargaku pindah dari rumah ini agar engkau bisa menempatinya, sebagaimana engkau dan keluargamu telah mengosongkan rumahmu untuk bisa ditinggali oleh Rasulullah SAW."
Pada masa tuanya, Ibnu Abbas menjadi buta. Suatu ketika ia masuk ke Masjidil Haram dengan dituntun oleh Wahab bin Munabbih. Ketika didengarnya beberapa orang bertengkar dengan suara keras, ia meminta Wahab membawanya ke sana. Ia memberi salam dan meminta ijin duduk. Setelah duduk, ia berkata, "Apakah kamu tidak mengetahui hamba-hamba Allah yang sebenarnya? Mereka adalah manusia yang tidak ingin berkata-kata karena takut kepada Allah, padahal ia tidak bisu bahkan sangat fasih tutur bahasanya, tetapi karena selalu sibuk memuji Allah dan mereka tidak dapat berkata yang sia-sia. Pada tingkat keimanan yang seperti itu, mereka selalu bersegera berbuat kebaikan, mengapa kalian menyimpang dari jalan itu?"
Mereka yang sedang bertengkar atau berdebat tersebut menjadi reda emosinya, dan meminta nasehat lebih banyak kepada Abdullah bin Abbas.
Sebagian riwayat menyebutkan, Abdullah bin Abbas memilih untuk menghabiskan masa hidupnya di Thaif, dan bukannya di Tanah Haram Makkah, walaupun sebenarnya ibadah atau kebaikan yang dilakukan di sana  dilipat-gandakan sebanyak seratus ribu kali. Tetapi yang menjadi alasannya untuk tidak tinggal di Makkah, adalah sikap hati-hati (wara') dan rasa takutnya (khauf) kepada Allah SWT. Dalam pemikiran dan penafsiran Ibnu Abbas, orang-orang yang baru tersirat dan berniat saja untuk berbuat keburukan dan berada di Tanah Haram (Makkah dan Madinah), ia sudah jatuh dalam keburukan dan berdosa, bahkan bisa jadi dosanya sudah berganda sesuatu tingkat kekuatan niatnya. Padahal kalau di tanah halal, yakni diluar Makkah dan Madinah, niat saja belum jatuh dalam keburukan dan berdosa, jika ia belum merealisasikan niatnya tersebut. Bahkan bisa jadi ia memperoleh pahala jika ia membatalkan niatnya tersebut.
Sungguh suatu sikap hati-hati (wara’) dan takut kepada Allah SWT (khauf) yang tiada taranya. Padahal seorang sahabat “selevel” Ibnu Abbas, yang telah didoakan kebaikan oleh Nabi SAW, apa masih mungkin tersirat suatu niat untuk berbuat keburukan?? Tetapi itulah memang ciri khas para sahabat Nabi SAW, walaupun kebaikan dan jaminan keselamatan dari Nabi SAW telah mereka terima dari sabda-sabda beliau, tetapi mereka masih merasa 'tidak aman' dengan Makar Allah, sungguh suatu sikap tawadhu' yang patut diteladani.

Abdullah bin Ja'far RA

   Abdullah bin Ja'far masih keponakan Rasulullah SAW, ia putra dari Ja'far bin Abi Thalib. Ia masih berusia tujuh tahun ketika berba'iat kepada Nabi SAW. Ketika Ja'far bin Abi Thalib gugur syahid di perang Mu'tah, Rasulullah SAW memanggil anak-anaknya, Abdullah, Aun dan Muhammad. Beliau menentramkan hati mereka karena kehilangan ayahnya, dan mendoakan agar selalu diberikan rahmat Allah. Doa Nabi SAW inilah yang membuat Abdullah menjadi sangat pemurah dan baik hati seperti bapaknya, sehingga ia digelari 'Qutbus Sakha', Kepala para Dermawan. 
Sewaktu masih kecil, Ibnu Ja’far pernah membantu pamannya Ali bin Abi Thalib menolong seseorang, dan ia diberi hadiah orang yang ditolongnya itu sebanyak empat ribu dirham, tetapi ia  menolak dan berkata, "Kami tidak menjual amalan baik kami."
Suatu ketika ia diberi uang oleh seseorang sebanyak duaribu dirham, dan dalam sekejab uang itu habis dibagi-bagikan di jalan Allah. Pada kali yang lain, ada pedagang yang membawa sejumlah besar gula ke pasar, tetapi dagangannya tidak laku, tidak ada orang yang membelinya. Abdullah menyuruh pembantunya memborong semua gula tersebut dan membagikannya secara cuma-cuma pada penduduk sekitarnya.
Ketika sahabat Zubair bin Awwam gugur, anaknya, Abdullah bin Zubair menemuinya dan berkata, "Wahai Abdullah, kutemukan dalam catatan keuangan ayahku, engkau berhutang satu juta dirham."
"Baiklah," Kata Abdullah bin Ja'far, "Engkau dapat mengambil uang itu, kapan saja kamu suka!"
Tetapi tidak berapa lama Abdullah bin Zubair kembali dan meminta maaf karena terjadi kekeliruan, ayahnya-lah yang mempunyai hutang satu juta dirham kepada Abdullah bin Ja'far. Maka Abdullah berkata, "Jika demikian, aku halalkan hutang ayahmu kepadaku!"      
Tetapi Abdullah bin Zubair tidak mau hutang ayahnya dihalalkan begitu saja, ia tetap ingin membayar hutang tersebut. Maka Abdullah bin Ja'far berkata, "Baiklah jika demikian, engkau boleh membayar sesuai kemampuanmu!"
“Maukah engkau menerima sebidang tanah kecil yang tandus sebagai pembayarannya?" Kata Ibnu Zubair.
Abdullah bin Ja'far dengan senang hati menerimanya sebagai pelunas hutang Zubair bin Awwam, walau nilainya tidak sebanding. Ia mendatangi tanah tandus tersebut dan memerintahkan pembantunya untuk membentangkan sajadah di atasnya, kemudian ia shalat dua rakaat dan bersujud cukup lama. Setelah selesai shalat, ia menunjuk satu titik, dan menyuruh pembantunya untuk menggali. Tak terlalu lama menggali, muncullah mata air di tanah tandus tersebut.
          Abdullah bin Ja'far menikahi dua orang cucu Rasulullah SAW, putri Fatimah dan Ali, secara berturutan. Pertama ia menikahi Zainab binti Ali, ia mempunyai dua orang anak yang diberi nama Abdullah dan Aun, tetapi keduanya meninggal ketika masih kecil. Setelah itu ia menikahi Ummu Kultsum binti Ali, kakak Zainab, yang sebelumnya telah menikah dengan Umar bin Khaththab dan dua orang saudaranya, Aun bin Ja'far dan Muhammad bin Ja'far

Abu Jandal bin Suhail RA

Ketika Abu Jandal bin Suhail bin Amr memeluk Islam, kaum keluarganya membelenggu dan menyiksanya sehingga ia tidak bisa menyusul Nabi SAW ke Madinah sebagaimana orang Islam lainnya. Suatu saat ia berhasil meloloskan diri melalui bagian bawah kota Makkah, dan menemui orang-orang Islam yang saat itu sedang berada di Hudaibiyah, kedua tangannya dalam keadaan terbelenggu.
            Saat itu utusan kaum Quraisy, Suhail bin Amr, yang tidak lain adalah ayah Abu Jandal sendiri, sedang mengadakan pembicaraan dengan Nabi SAW tentang butir-butir Perjanjian Hudaibiyah. Salah satu butir tersebut adalah : Jika seorang lelaki dari Makkah datang kepadamu (Nabi SAW), walaupun ia telah memeluk Islam, maka engkau harus mengembalikannya kepada kami (Kaum Quraisy). 
Ketika Suhail melihat kehadiran Abu Jandal, Suhail berkata kepada Nabi SAW, "Hai Muhammad, dia ini adalah orang pertama yang harus engkau kembalikan kepada kami."
Nabi SAW sebenarnya berusaha mempertahankan Abu Jandal dengan dalih perjanjian tersebut belum sampai tahap disepakati, tetapi masih dalam perundingan. Tetapi Suhail tetap berkeras, sehingga akhirnya Nabi SAW merelakan Abu Jandal dibawa kembali ke Makkah. Abu Jandal sempat berkata, "Hai orang-orang Islam, apakah aku akan dikembalikan kepada kaum musyrik, sedangkan aku telah datang kepada kalian sebagai muslim? Apakah kalian tidak melihat apa yang kuderita?"
Tentu saja kaum muslimin sangat tersentuh dengan keadaan tsb. tetapi apa yang telah diputuskan oleh Nabi SAW, itulah hukum yang harus ditaati. Hanya Umar bin Khaththab yang sempat mempertanyakan kepada Nabi SAW, tetapi ia pun akhirnya bisa menerimanya setelah dijelaskan Abu Bakar RA. Nabi SAW hanya bisa menasehati Abu Jandal untuk bersabar.
Berlalulah waktu, seorang muslim lagi, yakni Abu Bashir, lepas dari kungkungan dan siksaan kamu Quraisy dan berlari ke Madinah. Kaum Quraisy mengirim dua utusan ke Madinah untuk menjemput Abu Bashir, dan tidak bisa tidak, karena masih terikat Perjanjian Hudaibiyah, Nabi SAW SAW harus merelakan Abu Bashir dibawa kembali ke Makkah.
Dalam perjalanan tersebut, dengan suatu muslihat Abu Bashir berhasil membunuh salah satu utusan, dan utusan lainnya berhasil lari      ke Madinah meminta perlindungan Nabi SAW. Ketika Abu Bashir menghadap Nabi SAW di Madinah, beliau menjelaskan tentang Perjanjian Hudaibiyah dan beliau tidak mungkin mempertahankannya di Madinah. Abu Bashir bisa memahami kesulitan yang dihadapi Nabi SAW, karena itu ia lari ke pesisir menyembunyikan diri.
Beberapa waktu kemudian Abu Jandal juga berhasil lolos dari kaum Quraisy, dan ia mengikuti jejak Abu Bashir menyembunyikan diri di pesisir. Begitulah, setiap ada orang muslim yang lolos dari kaum Quraisy, mereka bergabung dengan Abu Bashir dan Abu Jandal hingga mencapai jumlah satu isbahah (10 - 40 orang). Kelompok yang dipimpin oleh Abu Bashir dan Abu Jandal ini selalu menghadang dan membunuh kafilah dagang Quraiys yang menuju Syam, dan merampas hartanya.
            Keadaan itu ternyata menjadi “bumerang” bagi kaum Quraisy, yang akhirnya memaksa orang-orang Quraisy menemui Nabi SAW agar kelompok Abu Bashir dan Abu Jandal ditarik ke Madinah dan tidak mengganggu kafilah-kafilah dagang orang Quraisy ke Syam. Itu artinya mereka sendiri yang berinisiatif membatalkan Perjanjian Hudaibiyah. Dan kelompok Abu Bashir dan Abu Jandal ini akhirnya bergabung dengan Nabi SAW di Madinah